Gampang, kok, karena ketulusan berbagi pada anak usia prasekolah sudah disertai kemampuan berhitung sederhana.
Pernah tidak, mendengar cerita ada anak yang kalau memberi sesuatu suka berlebihan. Misalnya saja, dengan enteng dia memberikan seraup uang logam yang ada di mobil ibunya kepada seorang pengemis di jalan. Kalau dijumlahkan, uang logam dalam genggamannya itu bisa mencapai 3 ribu sampai 5 ribu rupiah. Padahal pengemis di jalan tidak cuma satu. Masih banyak pengemis lain yang akan minta sedekah. Dari situ, wajarlah kalau lantas orangtua menilai anak kelewat dermawan.
Akan tetapi bagi anak sendiri sebenarnya bukan suatu masalah apakah terkesan berlebihan atau tidak. Si prasekolah memaknainya berbeda. Betapa senangnya bisa berbagi dengan orang lain. Betapa bahagianya melihat orang lain senang. Rasa bahagia yang diperoleh dari ketulusan menolong orang lain tiada terkira nilainya. Kepekaan sosial anak pun akan semakin terasah.
Karena itu, tak perlu buru-buru melarang anak melanjutkan kebiasaan berbaginya. Larangan hanya akan menimbulkan pertanyaan atas inkonsistensi sikap orangtua yang sebelumnya mungkin mengajarkan perlunya tolong-menolong dengan orang lain. "Lo, kok sekarang aku dilarang, apanya yang salah?"
Lebih baik, ajari anak untuk mengelola pembagian itu. Misalnya, "Coba Nak, uang yang kamu punya mau diberikan kepada siapa saja? Sebagian buat pengamen dan sebagian lagi buat pengemis ya? Nah, sebagian lagi buat sedekah di masjid ya." Dengan begitu anak juga belajar bersikap "adil" dengan merencanakan ke mana saja uang yang hendak diberikannya.
Akan tetapi sekali lagi, sah-sah saja kalau memang anak mau memberikan sesuatu kepada orang lain secara "royal". Dia semata-mata tulus ingin berbagi dengan orang lain. Orangtua tak perlu mencegah atau membatasi pemberiannya. Jika terus diberi penjelasan rasional, lambat laun anak akan dapat mengukur berapa banyak sih uang yang layak diberikan untuk pengemis, pengamen, dan sebagainya. Berapa banyak pula sumbangan yang hendaknya diberikan buat panti asuhan, sedekah di masjid, kerabat yang sakit, dan lainnya. Orangtua bisa saja menjelaskan begini, "Kalau kamu mau memberi dalam jumlah yang banyak, mengapa enggak disalurkan saja ke yayasan sosial. Barangkali manfaatnya bisa lebih banyak lagi." Jadi sedikit demi sedikit kita ajak si prasekolah berpikir lebih maju lagi.
Orangtua memang perlu memberi pemahaman tentang makna kedermawanan dengan sejelas-jelasnya pada anak. Kapan kita bisa memberi, bagaimana caranya, dan apa manfaat pemberian kita bagi orang lain. "Nak, memberi teman yang tidak membawa makanan itu sangat baik. Makanan bekal kamu dibagi dua saja, separuh untuk kamu, separuh lagi untuk temanmu." Dengan demikian, anak pun memahami konsep kedermawanan dalam proporsi yang benar. Tak hanya dengan uang, latih pula kedermawanan si prasekolah dengan memberikan pakaian layak pakai atau makanan berlebih untuk pengemis dan pemulung yang lewat di depan rumah. Dengan begitu sekaligus anak belajar bahwa makanan itu tak boleh dibuang-buang atau dihamburkan.
MENGASAH EMPATI
Ada beberapa manfaat yang bisa dipetik jika anak selalu mengasah sikap kedermawannya, yaitu:
* Mengasah empati dan jiwa sosial
Jika lingkungan mendukung, tentu akan tumbuh rasa empati si prasekolah terhadap lingkungannya. Misalnya, teman di sekolah enggak bawa bekal, maka ketika jam makan, anak mau berbagi makanan dengan sang teman tersebut. Menjadi sosok dermawan juga berarti mengasah jiwa sosial si prasekolah. Kalau hal baik ini terus dipupuk tentu akan terbawa oleh anak sampai besar.
* Belajar nilai-nilai agama
Mengasah kedermawanan sekaligus mengenalkan anak sejak dini tentang nilai-nilai dalam agama. Bahwa kita punya kewajiban untuk berbagi, bahwa ada sebagian dari rezeki kita merupakan hak orang-orang yang kurang mampu dan sebagainya. Anak belajar, mungkin uang yang dimiliki tak seberapa, tapi bagi orang lain mungkin sangatlah besar dan berharga.
* Belajar mengelola uang
Dia pun bisa memaknai arti uang. Selain belajar menjadi dermawan, si prasekolah juga belajar bagaimana mengelola dan menghargai uang, serta tahu ke mana dan bagaimana uang itu sebaiknya dimanfaatkan.
DARI MANA DATANGNYA SIKAP DERMAWAN
Jika ditilik dari kajian psikologi, memang anak usia prasekolah sudah memahami konsep berbagi dengan orang lain atau teman, entah itu berbentuk makanan, mainan atau sesuatu lainnya. Di usia sebelumnya yaitu batita, mereka baru mengenal konsep kepemilikan. Nah di usia 4-5 tahun ini, pemahaman mereka akan sifat kedermawanan sudah mulai terbentuk. Apalagi karena lingkungan pergaulan anak pun makin luas. Di TK, tentu peluang untuk berbagi atau mengasah sikap kedermawanan ini makin terbuka. Ditambah jika guru selalu mengajarkan anak-anak untuk rajin beramal, menjadi sosok yang baik dengan cara selalu memberikan bantuan kepada orang lain, dan mengasihi sesama. Bukankah pihak sekolah juga sering mempergunakan momen-momen tertentu, misalnya hari besar agama, untuk kegiatan amal. Mainan, uang, buku, baju atau seragam yang tak lagi dipakai tapi masih layak pakai disalurkan kepada anak-anak yang membutuhkan atau lembaga sosial. Jadi, peran sekolah pun sangat penting dalam mengembangkan sikap kedermawanan anak.
Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi latar belakang kenapa si prasekolah memiliki sikap dermawan, yaitu:
* Ingin membuat senang orang lain
Secara prinsip jika ditelaah dari sisi perkembangan moral anak, sebenarnya dalam diri si prasekolah tumbuh rasa ingin membuat orang lain senang.
Misalnya dengan cara memberi sesuatu pada temannya. Baginya, bisa membuat senang orang lain itu sungguh menyenangkan hati. Ternyata jika memberi sesuatu kepada orang lain atau teman, maka kedua pihak akan merasa senang. Yang perlu diketahui juga, anak memberi sesuatu masih dengan tulus, tidak ada rasa ingin dipuji teman atau orang lain.
* Peniruan
Satu hal lain, sikap dermawan anak biasanya didapat lantaran meniru lingkungannya. Dengan kata lain, faktor lingkungan juga sangat menentukan apakah anak menjadi sosok dermawan atau tidak. Asal tahu saja, anak usia prasekolah sangat dipengaruhi stimulasi lingkungannya. Dia akan terpacu untuk menonjolkan sikap dermawannya bila ayah, ibu, kakak dan saudara lainnya juga menunjukkan sikap dermawan.
Dengan kata lain, orangtua memang sebaiknya memberikan contoh sebanyak-banyaknya bagi anak. Entah itu menjadi model sosok yang dermawan, menjadi orang yang baik hati, selalu menolong, atau mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar. Anak prasekolah masih menjadi peniru sejati. Contoh konkretnya, ia melihat orangtua selalu menyumbang ke panti asuhan. Ketika ada pengemis, orangtua memberinya makanan atau uang. Jika ada teman yang membutuhkan bantuan selalu ditolong. Alhasil, anak pun ingin meniru. Dalam benaknya muncul pemikiran,"Aku ingin seperti ayah dan ibu yang selalu menolong orang lain, selalu berbagi dan selalu baik pada orang lain."
Pernah tidak, mendengar cerita ada anak yang kalau memberi sesuatu suka berlebihan. Misalnya saja, dengan enteng dia memberikan seraup uang logam yang ada di mobil ibunya kepada seorang pengemis di jalan. Kalau dijumlahkan, uang logam dalam genggamannya itu bisa mencapai 3 ribu sampai 5 ribu rupiah. Padahal pengemis di jalan tidak cuma satu. Masih banyak pengemis lain yang akan minta sedekah. Dari situ, wajarlah kalau lantas orangtua menilai anak kelewat dermawan.
Akan tetapi bagi anak sendiri sebenarnya bukan suatu masalah apakah terkesan berlebihan atau tidak. Si prasekolah memaknainya berbeda. Betapa senangnya bisa berbagi dengan orang lain. Betapa bahagianya melihat orang lain senang. Rasa bahagia yang diperoleh dari ketulusan menolong orang lain tiada terkira nilainya. Kepekaan sosial anak pun akan semakin terasah.
Karena itu, tak perlu buru-buru melarang anak melanjutkan kebiasaan berbaginya. Larangan hanya akan menimbulkan pertanyaan atas inkonsistensi sikap orangtua yang sebelumnya mungkin mengajarkan perlunya tolong-menolong dengan orang lain. "Lo, kok sekarang aku dilarang, apanya yang salah?"
Lebih baik, ajari anak untuk mengelola pembagian itu. Misalnya, "Coba Nak, uang yang kamu punya mau diberikan kepada siapa saja? Sebagian buat pengamen dan sebagian lagi buat pengemis ya? Nah, sebagian lagi buat sedekah di masjid ya." Dengan begitu anak juga belajar bersikap "adil" dengan merencanakan ke mana saja uang yang hendak diberikannya.
Akan tetapi sekali lagi, sah-sah saja kalau memang anak mau memberikan sesuatu kepada orang lain secara "royal". Dia semata-mata tulus ingin berbagi dengan orang lain. Orangtua tak perlu mencegah atau membatasi pemberiannya. Jika terus diberi penjelasan rasional, lambat laun anak akan dapat mengukur berapa banyak sih uang yang layak diberikan untuk pengemis, pengamen, dan sebagainya. Berapa banyak pula sumbangan yang hendaknya diberikan buat panti asuhan, sedekah di masjid, kerabat yang sakit, dan lainnya. Orangtua bisa saja menjelaskan begini, "Kalau kamu mau memberi dalam jumlah yang banyak, mengapa enggak disalurkan saja ke yayasan sosial. Barangkali manfaatnya bisa lebih banyak lagi." Jadi sedikit demi sedikit kita ajak si prasekolah berpikir lebih maju lagi.
Orangtua memang perlu memberi pemahaman tentang makna kedermawanan dengan sejelas-jelasnya pada anak. Kapan kita bisa memberi, bagaimana caranya, dan apa manfaat pemberian kita bagi orang lain. "Nak, memberi teman yang tidak membawa makanan itu sangat baik. Makanan bekal kamu dibagi dua saja, separuh untuk kamu, separuh lagi untuk temanmu." Dengan demikian, anak pun memahami konsep kedermawanan dalam proporsi yang benar. Tak hanya dengan uang, latih pula kedermawanan si prasekolah dengan memberikan pakaian layak pakai atau makanan berlebih untuk pengemis dan pemulung yang lewat di depan rumah. Dengan begitu sekaligus anak belajar bahwa makanan itu tak boleh dibuang-buang atau dihamburkan.
MENGASAH EMPATI
Ada beberapa manfaat yang bisa dipetik jika anak selalu mengasah sikap kedermawannya, yaitu:
* Mengasah empati dan jiwa sosial
Jika lingkungan mendukung, tentu akan tumbuh rasa empati si prasekolah terhadap lingkungannya. Misalnya, teman di sekolah enggak bawa bekal, maka ketika jam makan, anak mau berbagi makanan dengan sang teman tersebut. Menjadi sosok dermawan juga berarti mengasah jiwa sosial si prasekolah. Kalau hal baik ini terus dipupuk tentu akan terbawa oleh anak sampai besar.
* Belajar nilai-nilai agama
Mengasah kedermawanan sekaligus mengenalkan anak sejak dini tentang nilai-nilai dalam agama. Bahwa kita punya kewajiban untuk berbagi, bahwa ada sebagian dari rezeki kita merupakan hak orang-orang yang kurang mampu dan sebagainya. Anak belajar, mungkin uang yang dimiliki tak seberapa, tapi bagi orang lain mungkin sangatlah besar dan berharga.
* Belajar mengelola uang
Dia pun bisa memaknai arti uang. Selain belajar menjadi dermawan, si prasekolah juga belajar bagaimana mengelola dan menghargai uang, serta tahu ke mana dan bagaimana uang itu sebaiknya dimanfaatkan.
DARI MANA DATANGNYA SIKAP DERMAWAN
Jika ditilik dari kajian psikologi, memang anak usia prasekolah sudah memahami konsep berbagi dengan orang lain atau teman, entah itu berbentuk makanan, mainan atau sesuatu lainnya. Di usia sebelumnya yaitu batita, mereka baru mengenal konsep kepemilikan. Nah di usia 4-5 tahun ini, pemahaman mereka akan sifat kedermawanan sudah mulai terbentuk. Apalagi karena lingkungan pergaulan anak pun makin luas. Di TK, tentu peluang untuk berbagi atau mengasah sikap kedermawanan ini makin terbuka. Ditambah jika guru selalu mengajarkan anak-anak untuk rajin beramal, menjadi sosok yang baik dengan cara selalu memberikan bantuan kepada orang lain, dan mengasihi sesama. Bukankah pihak sekolah juga sering mempergunakan momen-momen tertentu, misalnya hari besar agama, untuk kegiatan amal. Mainan, uang, buku, baju atau seragam yang tak lagi dipakai tapi masih layak pakai disalurkan kepada anak-anak yang membutuhkan atau lembaga sosial. Jadi, peran sekolah pun sangat penting dalam mengembangkan sikap kedermawanan anak.
Kalau mau ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi latar belakang kenapa si prasekolah memiliki sikap dermawan, yaitu:
* Ingin membuat senang orang lain
Secara prinsip jika ditelaah dari sisi perkembangan moral anak, sebenarnya dalam diri si prasekolah tumbuh rasa ingin membuat orang lain senang.
Misalnya dengan cara memberi sesuatu pada temannya. Baginya, bisa membuat senang orang lain itu sungguh menyenangkan hati. Ternyata jika memberi sesuatu kepada orang lain atau teman, maka kedua pihak akan merasa senang. Yang perlu diketahui juga, anak memberi sesuatu masih dengan tulus, tidak ada rasa ingin dipuji teman atau orang lain.
* Peniruan
Satu hal lain, sikap dermawan anak biasanya didapat lantaran meniru lingkungannya. Dengan kata lain, faktor lingkungan juga sangat menentukan apakah anak menjadi sosok dermawan atau tidak. Asal tahu saja, anak usia prasekolah sangat dipengaruhi stimulasi lingkungannya. Dia akan terpacu untuk menonjolkan sikap dermawannya bila ayah, ibu, kakak dan saudara lainnya juga menunjukkan sikap dermawan.
Dengan kata lain, orangtua memang sebaiknya memberikan contoh sebanyak-banyaknya bagi anak. Entah itu menjadi model sosok yang dermawan, menjadi orang yang baik hati, selalu menolong, atau mengerjakan sesuatu dengan baik dan benar. Anak prasekolah masih menjadi peniru sejati. Contoh konkretnya, ia melihat orangtua selalu menyumbang ke panti asuhan. Ketika ada pengemis, orangtua memberinya makanan atau uang. Jika ada teman yang membutuhkan bantuan selalu ditolong. Alhasil, anak pun ingin meniru. Dalam benaknya muncul pemikiran,"Aku ingin seperti ayah dan ibu yang selalu menolong orang lain, selalu berbagi dan selalu baik pada orang lain."
Post a Comment for "BELAJAR MENJADI DERMAWAN YANG RASIONAL"