Pasalnya, jika tidak dikelola dengan baik, perasaan bersalah bisa menyebabkan anak tak punya percaya diri. Bahkan, anak gampang tersulut depresi.
Burhan, bukan nama sebenarnya, sedang asyik bermain layangan. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga layangannya tersangkut di kabel listrik. Bocah prasekolah ini pun berusaha melepaskannya dengan cara menarik-narik benang layangan tersebut. Apa mau dikata, tarikan Burhan alih-alih membuat layang-layang itu terlepas, justru memunculkan percikan api yang kemudian jadi penyebab korsleting hingga aliran listrik di kawasan perumahan tersebut terputus sementara.
Burhan pun panik, mukanya merah padam. Dia pun segera berlari pulang ke rumah lalu bersembunyi di kolong tempat tidur. Rasa takut yang luar biasa membuatnya tak berani keluar rumah selama berhari-hari. Padahal, baik orang tua maupun warga sekitar tidak ada yang tahu dialah yang menyebabkan matinya aliran listrik.
"Burhan memiliki rasa bersalah hingga takut keluar rumah," komentar Marcella Siddidjaja, Psi. Rasa bersalah ini timbul akibat segenap sikap dan tingkah laku yang dilakukan anak tidak sesuai dengan harapan lingkungannya. Saat lingkungan menuntut anak untuk bersikap manis dan menjaga lingkungan di luar rumah, si anak malah bermain layangan dan mengakibatkan padamnya aliran listrik. "Perbedaan harapan dan sikap itulah yang menyebabkan anak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya."
Namun, lanjut Marcella, rasa bersalah di sini juga memiliki aspek positif. "Rasa bersalah menunjukkan tanggung jawab anak terhadap apa-apa yang dilakukannya. Anak sadar betul bahwa perilaku negatifnya membuat lingkungan tidak senang. Contohnya saat Burhan memadamkan aliran listrik rumah warga se-RW, dia pasti sangat ketakutan karena tahu akibatnya. Yang ada di benaknya, warga se-RW pasti marah kalau tahu dialah yang menjadi biang kerok padamnya listrik di rumah mereka."
Sebetulnya, tukas psikolog dari Unika Atma Jaya, Jakarta ini, rasa bersalah ini menguntungkan. Dengan begitu, anak jadi tahu bagaimana penilaian lingkungan terhadap perbuatan yang dilakukannya. Anak akan lebih paham ada perbuatan-perbuatan atau tindakan yang tidak dikehendaki lingkungan. Bila dilakukan, perbuatan atau tindakan tersebut akan membuat situasi tidak menyenangkan dan inilah yang kemudian memunculkan rasa bersalah pada dirinya. Sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak menyenangkan atau bahkan berakibat fatal bagi lingkungannya.
TERGANTUNG PERSEPSI
ANAK tidak otomatis memiliki rasa bersalah. "Rasa bersalah merupakan hasil pembelajaran anak terhadap aturan-aturan yang ada di lingkungannya." Dengan kata lain, tidak ada patokan khusus sejak kapan anak wajib mulai memiliki rasa bersalah. Meski begitu, Marcella mengingatkan, di usia 1-3 tahun, saat anak mulai bisa bahkan lancar berkomunikasi maupun berinteraksi secara mandiri dengan orang lain, anak sudah mulai mengenal aturan. "Saat anak mengenal aturan itulah, rasa bersalahnya mulai muncul," tandas Marcella.
Menurutnya, perasaan bersalah juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Artinya, orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif, akan memberikan aturan sampai tahap tertentu, lalu membebaskan sambil mengawasi anak seputar aturan tadi. Anak akan tahu tindakan mana yang dikategorikan sebuah kesalahan dan mana pula yang tidak. Langkah pembelajaran berikutnya, anak jadi tahu bagaimana mengelola kesalahan yang telah dilakukannya. Pola asuh ini, tegas Marcella, merupakan pola asuh ideal karena anak bisa belajar banyak dari kesalahan yang dilakukannya. Dengan pola asuh ini, anak akan langsung mengakui sekaligus meminta maaf dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya.
Lain halnya dengan orang tua yang menerapkan pola asuh permisif alias serba membolehkan. Anak akan mengalami berbagai benturan karena apa yang dibolehkan di rumah ternyata dilarang di lingkungan sekitarnya yang lebih luas, semisal di rumah tetangga ataupun di "sekolah". Ketidaktahuan anak terhadap aturan menyebabkan dia juga sulit membedakan, mana tindakan yang salah dan mana pula yang tidak. Akibatnya, saat melakukan kesalahan, anak sama sekali tidak menyadari bahwa itu salah.
Dalam psikologi, jelas Marcella lebih jauh, disebutkan bahwa perbedaan antara rasa bersalah dan malu terletak pada kesadaran diri publik maupun si individu/pribadi yang bersangkutan. Jadi, tidak ada yang dapat memastikan seseorang benar-benar merasa bersalah atau tidak terhadap suatu hal, kecuali dirinya sendiri. Sekalipun masyarakat mungkin sudah "memvonis"nya bersalah. Itu sebabnya kita tidak menentukan patokan umum kesalahan mana yang dianggap lebih besar oleh seseorang yang dapat memperbesar rasa bersalahnya. "Besar atau kecil, sepenuhnya tergantung persepsi pribadi."
Marcella lantas mencontohkan kasus anak yang merusak mainan teman saat si teman merebut mainan tersebut darinya. Kasus yang sama bisa dipersepsikan secara berbeda oleh dua anak yang sebaya. Bagi Ani, contohnya, yang terbiasa berbagi mainan dengan 3 orang saudaranya, saling berebut mainan bukanlah masalah besar, hingga bukan merupakan unsur yang mengganggu rasa bersalahnya. Namun saat memecahkan mainan, ia merasa bersalah karena takut dimarahi oleh temannya.
Tidak demikian halnya dengan Ana yang di rumahnya selalu diajarkan bagaimana menjaga dan menghormati barang milik orang lain. Ia akan dibebani rasa bersalah saat mengambil barang temannya tanpa izin. Terlebih jika ia sampai merusak mainan tersebut, rasa bersalahnya makin bertambah besar. Dengan kata lain, besar kecilnya kesalahan (apa yang kemudian dianggap orang sebagai rasa bersalah) sepenuhnya adalah persepsi pribadi. "Meski memang ada pengaruh persepsi besar kecilnya kesalahan dengan besar kecilnya rasa bersalah. Namun tidak otomatis semua hal bisa dikategorikan demikian," tukas Marcella.
JANGAN MENYUDUTKAN
RASA bersalah jika dikelola dengan baik akan membangun rasa tanggung jawab. "Makanya, rasa bersalah mesti ada dan harus terus dikembangkan dalam diri seseorang. Tanamkan bahwa rasa bersalah sampai batas tertentu dibutuhkan oleh setiap individu agar dapat belajar bertanggung jawab."
Namun ia pun mengingatkan ada faktor penting lainnya yang tidak boleh dilupakan, yakni bagaimana sikap orang tua membantu anak mengatasi rasa bersalahnya. "Sebab perilaku orang tua yang tidak tepat justru bisa menyebabkan anak terus-menerus dibayangi oleh rasa bersalahnya." Itulah mengapa, orang tua yang bersikap otoriter akan membuat anak menganggap kesalahannya sebagai sesuatu yang begitu besar dan sulit dimaafkan.
Dampak buruknya, anak jadi takut untuk mencoba sesuatu hanya karena takut salah. Terlebih jika si anak kerap mendapat hukuman yang tak sepadan akibat kesalahan yang dilakukannya. Pada akhirnya anak jadi tidak percaya diri, selain akan sulit berkata jujur terhadap kesalahannya.
Tidak hanya itu. Anak juga amat berpeluang tumbuh jadi pribadi pencemas. Padahal kecemasan yang berlebih akan membuatnya selalu berpikir negatif terhadap segala sesuatu. Kesalahan kecil akan dianggapnya sebagai sesuatu yang dahsyat. Ia cenderung gampang menyalahkan diri sendiri. Bahkan tak jarang mengakui kesalahan orang lain sebagai kesalahannya sendiri. Akibatnya, anak-anak seperti ini akan mudah mengalami depresi.
Itulah sebabnya amat penting bagi orang tua untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola perasaan bersalahnya. Caranya, dengan menekankan kepada anak agar berani jujur untuk mengakui atau menyadari kesalahannya. Sebesar apa pun konsekuensinya, anak perlu belajar bahwa ia tetap harus mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya.
BUTUH BIMBINGAN
ORANG tua juga mesti mengajarkan kepada anak untuk berupaya memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Atau paling tidak membantu menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh kesalahannya. Bentuk penyelesaian itu sendiri bisa untuk sementara waktu, dan bisa pula untuk seterusnya.
Dengan memperbaiki kesalahan maupun dilibatkan dalam penyelesaian masalah, perasaan bersalah dalam diri anak akan sedikit demi sedikit berkurang. Yang pasti, tegas Marcella, rasa bersalah tidak akan pernah bisa hilang. "Bagaimana mungkin bisa hilang karena itu berkaitan dengan kejadian yang tidak mungkin dihapus."
Konkretnya, sejak dini ajarkan anak untuk bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Bahkan sedapat mungkin sebelum ia bisa bicara. Contohnya, saat Sharon yang masih berumur setahun tengah asyik bermain dengan Tasha, kakaknya, tiba-tiba ia memukul kakaknya dengan penggaris. Bila orang tua melihat kejadian semacam itu, apa yang harus dilakukannya?
Pertama, orang tua harus mengatakan pada si adik bahwa ia tidak boleh memukul kakak. Jelaskan konsekuensinya, "Dipukul kan sakit. Kakak bisa menangis atau marah. Bisa-bisa kamu dipukul lagi." Ada baiknya orang tua yang menjadi perpanjangan mulut si adik dengan mengatakan, "Ayo kita minta maaf pada kakak. Kita sayang kakak, yuk.", sambil menuntun tangan si adik untuk membelai atau mengelus tangan si kakak yang sakit karena dipukul. Lalu bimbing anak untuk berani mengatakan, "Maaf, ya, Kak. Sharon enggak akan pukul Kakak lagi."
TAMPIL SEBAGAI TELADAN
JANGAN sekali-kali orang tua memasukkan unsur emosi maupun agresi saat mengajarkan hal ini. "Berusahalah untuk konsentrasi hanya pada poin kesalahan anak." Jelaskan sekonkret mungkin apa kesalahan anak, apa konsekuensinya, dan ajari anak meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Selain itu, bersikaplah konsisten mengenai aturan dalam pola asuh yang diterapkan pada anak. Jangan sampai, ketika ibu bilang tidak boleh akan satu hal, bapak bilang boleh, atau sebaliknya. Terlebih bila kemudian meluas pada kakek-nenek, om-tante maupun pengasuh dan pembantu. "Sedapat mungkin kompromikan dulu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh bersama orang dewasa yang akan mengasuh anak dalam tenggang waktu tertentu, semisal saat ditinggal orang tua ke kantor.
Bila tidak, anak jadi bingung aturan mana yang akan diikutinya. Kebingungan semacam inilah yang kemudian membuatnya terbiasa memilih yang paling enak buat dia. Ia sendiri akhirnya tidak tahu aturan yang berlaku di masyarakat umum, tidak tahu pula mana yang salah dan mana yang benar. Ujung-ujungnya, ia tidak akan merasa bersalah. Nah, bila ia tidak menyadari telah melakukan kesalahan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan itu?
Yang tak kalah penting, jadilah teladan bagi anak. Dengan demikian, saat orang tua melakukan kesalahan, jangan segan-segan untuk mengakui kesalahan tersebut. Mintalah maaf, termasuk pada anak, serta berusahalah untuk tidak mengulanginya. Bukankah orang tua merupakan sosok guru terbaik buat anak?
(tabloid-nakita)
Burhan, bukan nama sebenarnya, sedang asyik bermain layangan. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang hingga layangannya tersangkut di kabel listrik. Bocah prasekolah ini pun berusaha melepaskannya dengan cara menarik-narik benang layangan tersebut. Apa mau dikata, tarikan Burhan alih-alih membuat layang-layang itu terlepas, justru memunculkan percikan api yang kemudian jadi penyebab korsleting hingga aliran listrik di kawasan perumahan tersebut terputus sementara.
Burhan pun panik, mukanya merah padam. Dia pun segera berlari pulang ke rumah lalu bersembunyi di kolong tempat tidur. Rasa takut yang luar biasa membuatnya tak berani keluar rumah selama berhari-hari. Padahal, baik orang tua maupun warga sekitar tidak ada yang tahu dialah yang menyebabkan matinya aliran listrik.
"Burhan memiliki rasa bersalah hingga takut keluar rumah," komentar Marcella Siddidjaja, Psi. Rasa bersalah ini timbul akibat segenap sikap dan tingkah laku yang dilakukan anak tidak sesuai dengan harapan lingkungannya. Saat lingkungan menuntut anak untuk bersikap manis dan menjaga lingkungan di luar rumah, si anak malah bermain layangan dan mengakibatkan padamnya aliran listrik. "Perbedaan harapan dan sikap itulah yang menyebabkan anak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya."
Namun, lanjut Marcella, rasa bersalah di sini juga memiliki aspek positif. "Rasa bersalah menunjukkan tanggung jawab anak terhadap apa-apa yang dilakukannya. Anak sadar betul bahwa perilaku negatifnya membuat lingkungan tidak senang. Contohnya saat Burhan memadamkan aliran listrik rumah warga se-RW, dia pasti sangat ketakutan karena tahu akibatnya. Yang ada di benaknya, warga se-RW pasti marah kalau tahu dialah yang menjadi biang kerok padamnya listrik di rumah mereka."
Sebetulnya, tukas psikolog dari Unika Atma Jaya, Jakarta ini, rasa bersalah ini menguntungkan. Dengan begitu, anak jadi tahu bagaimana penilaian lingkungan terhadap perbuatan yang dilakukannya. Anak akan lebih paham ada perbuatan-perbuatan atau tindakan yang tidak dikehendaki lingkungan. Bila dilakukan, perbuatan atau tindakan tersebut akan membuat situasi tidak menyenangkan dan inilah yang kemudian memunculkan rasa bersalah pada dirinya. Sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak menyenangkan atau bahkan berakibat fatal bagi lingkungannya.
TERGANTUNG PERSEPSI
ANAK tidak otomatis memiliki rasa bersalah. "Rasa bersalah merupakan hasil pembelajaran anak terhadap aturan-aturan yang ada di lingkungannya." Dengan kata lain, tidak ada patokan khusus sejak kapan anak wajib mulai memiliki rasa bersalah. Meski begitu, Marcella mengingatkan, di usia 1-3 tahun, saat anak mulai bisa bahkan lancar berkomunikasi maupun berinteraksi secara mandiri dengan orang lain, anak sudah mulai mengenal aturan. "Saat anak mengenal aturan itulah, rasa bersalahnya mulai muncul," tandas Marcella.
Menurutnya, perasaan bersalah juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Artinya, orang tua yang menerapkan pola asuh otoritatif, akan memberikan aturan sampai tahap tertentu, lalu membebaskan sambil mengawasi anak seputar aturan tadi. Anak akan tahu tindakan mana yang dikategorikan sebuah kesalahan dan mana pula yang tidak. Langkah pembelajaran berikutnya, anak jadi tahu bagaimana mengelola kesalahan yang telah dilakukannya. Pola asuh ini, tegas Marcella, merupakan pola asuh ideal karena anak bisa belajar banyak dari kesalahan yang dilakukannya. Dengan pola asuh ini, anak akan langsung mengakui sekaligus meminta maaf dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukannya.
Lain halnya dengan orang tua yang menerapkan pola asuh permisif alias serba membolehkan. Anak akan mengalami berbagai benturan karena apa yang dibolehkan di rumah ternyata dilarang di lingkungan sekitarnya yang lebih luas, semisal di rumah tetangga ataupun di "sekolah". Ketidaktahuan anak terhadap aturan menyebabkan dia juga sulit membedakan, mana tindakan yang salah dan mana pula yang tidak. Akibatnya, saat melakukan kesalahan, anak sama sekali tidak menyadari bahwa itu salah.
Dalam psikologi, jelas Marcella lebih jauh, disebutkan bahwa perbedaan antara rasa bersalah dan malu terletak pada kesadaran diri publik maupun si individu/pribadi yang bersangkutan. Jadi, tidak ada yang dapat memastikan seseorang benar-benar merasa bersalah atau tidak terhadap suatu hal, kecuali dirinya sendiri. Sekalipun masyarakat mungkin sudah "memvonis"nya bersalah. Itu sebabnya kita tidak menentukan patokan umum kesalahan mana yang dianggap lebih besar oleh seseorang yang dapat memperbesar rasa bersalahnya. "Besar atau kecil, sepenuhnya tergantung persepsi pribadi."
Marcella lantas mencontohkan kasus anak yang merusak mainan teman saat si teman merebut mainan tersebut darinya. Kasus yang sama bisa dipersepsikan secara berbeda oleh dua anak yang sebaya. Bagi Ani, contohnya, yang terbiasa berbagi mainan dengan 3 orang saudaranya, saling berebut mainan bukanlah masalah besar, hingga bukan merupakan unsur yang mengganggu rasa bersalahnya. Namun saat memecahkan mainan, ia merasa bersalah karena takut dimarahi oleh temannya.
Tidak demikian halnya dengan Ana yang di rumahnya selalu diajarkan bagaimana menjaga dan menghormati barang milik orang lain. Ia akan dibebani rasa bersalah saat mengambil barang temannya tanpa izin. Terlebih jika ia sampai merusak mainan tersebut, rasa bersalahnya makin bertambah besar. Dengan kata lain, besar kecilnya kesalahan (apa yang kemudian dianggap orang sebagai rasa bersalah) sepenuhnya adalah persepsi pribadi. "Meski memang ada pengaruh persepsi besar kecilnya kesalahan dengan besar kecilnya rasa bersalah. Namun tidak otomatis semua hal bisa dikategorikan demikian," tukas Marcella.
JANGAN MENYUDUTKAN
RASA bersalah jika dikelola dengan baik akan membangun rasa tanggung jawab. "Makanya, rasa bersalah mesti ada dan harus terus dikembangkan dalam diri seseorang. Tanamkan bahwa rasa bersalah sampai batas tertentu dibutuhkan oleh setiap individu agar dapat belajar bertanggung jawab."
Namun ia pun mengingatkan ada faktor penting lainnya yang tidak boleh dilupakan, yakni bagaimana sikap orang tua membantu anak mengatasi rasa bersalahnya. "Sebab perilaku orang tua yang tidak tepat justru bisa menyebabkan anak terus-menerus dibayangi oleh rasa bersalahnya." Itulah mengapa, orang tua yang bersikap otoriter akan membuat anak menganggap kesalahannya sebagai sesuatu yang begitu besar dan sulit dimaafkan.
Dampak buruknya, anak jadi takut untuk mencoba sesuatu hanya karena takut salah. Terlebih jika si anak kerap mendapat hukuman yang tak sepadan akibat kesalahan yang dilakukannya. Pada akhirnya anak jadi tidak percaya diri, selain akan sulit berkata jujur terhadap kesalahannya.
Tidak hanya itu. Anak juga amat berpeluang tumbuh jadi pribadi pencemas. Padahal kecemasan yang berlebih akan membuatnya selalu berpikir negatif terhadap segala sesuatu. Kesalahan kecil akan dianggapnya sebagai sesuatu yang dahsyat. Ia cenderung gampang menyalahkan diri sendiri. Bahkan tak jarang mengakui kesalahan orang lain sebagai kesalahannya sendiri. Akibatnya, anak-anak seperti ini akan mudah mengalami depresi.
Itulah sebabnya amat penting bagi orang tua untuk mengajarkan anak bagaimana mengelola perasaan bersalahnya. Caranya, dengan menekankan kepada anak agar berani jujur untuk mengakui atau menyadari kesalahannya. Sebesar apa pun konsekuensinya, anak perlu belajar bahwa ia tetap harus mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya.
BUTUH BIMBINGAN
ORANG tua juga mesti mengajarkan kepada anak untuk berupaya memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Atau paling tidak membantu menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh kesalahannya. Bentuk penyelesaian itu sendiri bisa untuk sementara waktu, dan bisa pula untuk seterusnya.
Dengan memperbaiki kesalahan maupun dilibatkan dalam penyelesaian masalah, perasaan bersalah dalam diri anak akan sedikit demi sedikit berkurang. Yang pasti, tegas Marcella, rasa bersalah tidak akan pernah bisa hilang. "Bagaimana mungkin bisa hilang karena itu berkaitan dengan kejadian yang tidak mungkin dihapus."
Konkretnya, sejak dini ajarkan anak untuk bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Bahkan sedapat mungkin sebelum ia bisa bicara. Contohnya, saat Sharon yang masih berumur setahun tengah asyik bermain dengan Tasha, kakaknya, tiba-tiba ia memukul kakaknya dengan penggaris. Bila orang tua melihat kejadian semacam itu, apa yang harus dilakukannya?
Pertama, orang tua harus mengatakan pada si adik bahwa ia tidak boleh memukul kakak. Jelaskan konsekuensinya, "Dipukul kan sakit. Kakak bisa menangis atau marah. Bisa-bisa kamu dipukul lagi." Ada baiknya orang tua yang menjadi perpanjangan mulut si adik dengan mengatakan, "Ayo kita minta maaf pada kakak. Kita sayang kakak, yuk.", sambil menuntun tangan si adik untuk membelai atau mengelus tangan si kakak yang sakit karena dipukul. Lalu bimbing anak untuk berani mengatakan, "Maaf, ya, Kak. Sharon enggak akan pukul Kakak lagi."
TAMPIL SEBAGAI TELADAN
JANGAN sekali-kali orang tua memasukkan unsur emosi maupun agresi saat mengajarkan hal ini. "Berusahalah untuk konsentrasi hanya pada poin kesalahan anak." Jelaskan sekonkret mungkin apa kesalahan anak, apa konsekuensinya, dan ajari anak meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Selain itu, bersikaplah konsisten mengenai aturan dalam pola asuh yang diterapkan pada anak. Jangan sampai, ketika ibu bilang tidak boleh akan satu hal, bapak bilang boleh, atau sebaliknya. Terlebih bila kemudian meluas pada kakek-nenek, om-tante maupun pengasuh dan pembantu. "Sedapat mungkin kompromikan dulu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh bersama orang dewasa yang akan mengasuh anak dalam tenggang waktu tertentu, semisal saat ditinggal orang tua ke kantor.
Bila tidak, anak jadi bingung aturan mana yang akan diikutinya. Kebingungan semacam inilah yang kemudian membuatnya terbiasa memilih yang paling enak buat dia. Ia sendiri akhirnya tidak tahu aturan yang berlaku di masyarakat umum, tidak tahu pula mana yang salah dan mana yang benar. Ujung-ujungnya, ia tidak akan merasa bersalah. Nah, bila ia tidak menyadari telah melakukan kesalahan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan itu?
Yang tak kalah penting, jadilah teladan bagi anak. Dengan demikian, saat orang tua melakukan kesalahan, jangan segan-segan untuk mengakui kesalahan tersebut. Mintalah maaf, termasuk pada anak, serta berusahalah untuk tidak mengulanginya. Bukankah orang tua merupakan sosok guru terbaik buat anak?
(tabloid-nakita)
Post a Comment for "AJARI ANAK MENGELOLA RASA BERSALAH"