Di kampung sekitar SD Islam Darush Sholihin dapat dijumpai masyarakat yang praktis sepanjang hari hanya berkumpul sambil duduk-duduk dan ngobrol di emperan rumah. Di sekitar sekolah saja ada tidak kurang dari 20 tenaga kerja produktif yang tidak melakukan apa-apa sepanjang hari. Di antara mereka ada yang hanya istri atau suaminya yang menganggur, ada pula yang dua-duanya tidak bekerja.
Kondisi perekonomian mereka terbilang kurang beruntung, tetapi sebagian besar lebih suka menghabiskan waktu hanya untuk keperluan yang tidak produktif. Setelah mengerjakan pekerjaan rumah, ada yang lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV sambil menunggu anak-anaknya pulang sekolah dan suaminya pulang kerja.
Ada pula yang mulai pagi buta, siang, sore hingga malam hari mereka menghabiskan waktu untuk bercengkerama dengan keluarga dan tetangga sekitar. Tidak jelas apa yang menjadi topik bahasan mereka, yang jelas, sepertinya mereka begitu menikmati kehidupan keseharian mereka tanpa kesibukan produktif.
Bila ada tetangga kanan-kiri yang kehidupan ekonominya cukup makmur, seperti membeli kendaraan baru, memperbaiki rumah, atau rekreasi ke tempat-tempat menarik di luar kota, akan muncul pergunjingan. Di antara ungkapan yang muncul di antaranya, "Pekerjaan kaya gitu saja kok bisa beli ini dan itu?", "Itu orangnya serakah, begini dan begitu", dan tidak jarang ada yang dituduh memelihara tuyul.
Setiap hari di kalangan mereka muncul keluhan "tidak punya uang", "sekarang susah mencari uang". Bila ditanya, mengapa mereka tidak bekerja, maka secara serempak akan menjawab, "susah mencari kerja" atau "Kerja apa?". Padahal ketika ditawari pekerjaan yang seharusnya mereka mampu kerjakan, jarang ada yang mau melakukannya.
Ada yang beralasan mempunyai kesibukan tertentu, sedang menunggu pesanan, sedang repot punya anak, badan kurang sehat dan sebagainya. Padahal sepanjang hari mereka hanya duduk-duduk di halaman rumah. Kalaupun ada yang mau, mereka memasang tarif tinggi untuk pekerjaan yang belum tentu mereka mampu mengerjakannya dengan baik.
Tetangga sekitar yang cukup makmur atau punya usaha tidak akan menawarkan pekerjaan pada mereka bila membutuhkan tenaga kerja. Mereka tidak mau dituntut untuk mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan tuntas, tetapi selalu menuntut bayaran pas, kalau perlu plus bonus.
Bahkan anak-anak mereka yang sudah dewasa dan bekerja di berbagai tempat dengan mudah keluar pekerjaan. Banyak alasan mereka meninggalkan pekerjaan yang sebelumnya tak mudah mereka dapatkan. Mereka mengeluh karena harus banyak berdiri sepanjang waktu kerja, capek, bayaran kurang.
Mereka lebih suka menganggur dan hidup serba kekurangan dari pada bersusah payah. Mereka hanya mau melakukan pekerjaan yang mereka sukai meski belum tentu menghasilkan. Mereka sangat suka menerima pemberian. Mereka tidak siap melakukan hal sulit untuk meraih hasil yang lebih baik.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa problem kemiskinan pada dasarnya bukan terletak pada ketersediaan lapangan kerja, juga bukan kemampuan kerja, melainkan pada kualitas mental masyarakat. Kualitas mental dimaksud tampak pada kemauan mereka untuk keluar dari kemiskinan, cara pandang mereka terhadap pekerjaan, dan ketahanan mental mereka menghadapi tuntutan pekerjaan.
Tidak ada pekerjaan yang mudah, dan tidak ada cara mencari uang yang benar-benar mudah, tetapi bukan tidak diperoleh. Masalahnya, mentalitas mereka memang terbentuk sedemikian rupa menjadi pemalas. Mereka tidak terdidik untuk bekerja, sehingga tidak merasa membutuhkan pekerjaan. Kalaupun dihadapkan pada pekerjaan, mentalitas mereka tidak untuk bekerja, kerja karas, dan apalagi harus menghadapi berbagai kesulitan demi memperoleh hasil yang lebih baik.
Post a Comment for "TERDIDIK MENJADI PEMALAS"