Dengan belajar dari kesalahan, kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik. Nah, Apakah Anda termasuk orang tua yang kerap melakukan salah satu, beberapa, atau semua hal berikut ini? Bila ya, segera lakukan koreksi agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi cerdas, terampil, mandiri, dan ekspresif.
MEMAKSA ANAK MENGHENTIKAN AKTIVITASNYA
Di usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang terfokus pada dirinya. Contoh, asyik menonton televisi atau asyik mengutak-utik hobinya semisal menggambar. Saking asyiknya, si anak sampai "lupa" waktu: waktu untuk makan, tidur, mandi, dan lainnya. Di sisi lain, anak usia prasekolah memang belum paham mengenai konsep waktu sehingga masih perlu diingatkan. Ia pun sedang dalam tahap belajar menyesuaikan diri dengan aturan dan tuntutan yang ada di lingkungannya.
Sayangnya, banyak orang tua tak paham akan hal ini. Hingga yang kerap terjadi, umumnya orang tua malah akan menyuruh anak untuk menghentikan keasyikannya itu, "Kakak, ayo, menggambarnya udahan. Sekarang waktunya mandi!" Jika si anak menolak, "Sebentar, Ma, dikit lagi, nih!", orang tua pun memaksa, "Tidak! Sekarang sudah waktunya mandi, jadi kamu harus mandi!" Padahal, sikap orang tua yang demikian hanya akan membuat anak jadi tak punya otoritas terhadap diri sendiri karena anak tak punya kemampuan memutuskan sendiri apa yang menjadi prioritasnya. Di masa depan, tentu sulit bila anak tak punya kemampuan memutuskan apa yang penting dan menjadi prioritas hidupnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Selama ini, memang orang tualah yang selalu membuatkan jadwal untuk anak. Misal, jadwal mandi, makan dan tidur. Mengapa tidak memberi mereka kesempatan pada anak untuk mengatur sendiri jadwalnya? Jikapun anak masih melakukan aktivitas lain sehingga melanggar jadwal yang dibuatnya, orang tua dapat memberinya pengertian, "Kak, sekarang, kan, sudah jam 5. Ayo, jadwal Kakak, kan, jam 5 Mandi. Itu angkanya sudah jam 5, berarti kakak harus mandi." Bila mereka masih ingin mengulur waktu, berikan tenggang yang tak terlalu lama, "Oke, Mama kasih waktu 10 menit lagi, ya. Kalau jarum panjang ini sudah sampai di angka 2 (pukul 5 lebih 10), berarti Kakak harus berhenti menggambar, lalu mandi. Kalau ditunda lagi nanti kemalaman."
Beri juga pengertian, pentingnya menepati jadwal yang sudah dibuat sendiri. Tentu orang tua juga tak boleh terlalu saklek. Bila hari libur, jadwal anak boleh lebih santai. Sebaliknya, bila anak harus les atau diajak pergi, terangkan lebih awal bahwa jadwalnya "terpaksa" berubah. Contoh, "Kak, hari ini mandi sorenya jam 4, ya, karena Kakak akan Ibu ajak pergi."
MENYUAPI MAKAN
Banyak orang tua masih kerap menyuapi anaknya makan. Umumnya supaya si anak mau makan. Apalagi di usia prasekolah, kalau sedang asyik menekuni sesuatu kegiatan, anak bisa sampai lupa waktu. Nah, daripada si anak tertunda waktu makannya, maka orang tua pun menyuapinya sambil si anak tetap asyik dengan aktivitasnya itu.
Padahal, jika anak tak dibiasakan makan sendiri, bisa-bisa sampai di akhir usia prasekolah pun, si anak belum terampil makan sendiri. Padahal, di usia 5 tahun harusnya anak sudah bisa makan sendiri, bahkan memotong makanan dengan pisau.
Selain itu, dengan orang tua terbiasa menyuapi anaknya makan, anak jadi tak mandiri. Bisa-bisa, mereka hanya mau makan bila disuapi oleh ibu atau pengasuh. Nah, bila kebetulan ibu pergi atau si pengasuh repot, tentu mereka tidak akan makan, kan?
Kesalahan ini sering juga bersumber pada anggapan, anak yang gemuk mencerminkan orang tua yang pandai merawat. Bila si anak kurus, orang tua takut dianggap tak perhatian pada anak. Itulah sebabnya, bila anak mulai ogah-ogahan makan, orang tua pun panik. Selanjutnya, acara makan seringkali menjadi ajang berantem antara orang tua dan anak, lantaran orang tua memaksa si anak untuk makan.
Padahal, gemuk-kurusnya si anak tak dapat dijadikan patokan untuk menilai "kepandaian" orang tua dalam merawat anak. Di sisi lain, tak heran bila disuruh makan, ia lantas menolak. Jika dipaksa, lambat-laun akan membuat anak mengasosiasikan acara makan sebagai suatu yang tidak menyenangkan sehingga makannya malah makin susah. Padahal, kalau saja orang tua tahu triknya, anak pasti akan makan. Yang penting kita yakin anak tidak mau makan bukan karena sakit. Cirinya, meski tak mau makan, anak tetap aktif melakukan kegiatannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Bila anak asyik menekuni sesuatu sampai lupa waktu makan, orang tua harus menerangkan perlunya makan. Misal, "Kalau Kakak tidak mau makan, Kakak akan sakit. Kalau Kakak sakit, nanti enggak bisa main dan ke sekolah, loh. Kan, nanti juga enggak bisa main di sekolah."
Jika anak tak mau makan tapi tetap melakukan kegiatan, berarti memang dia sedang memilih untuk menunda makannya. Tak usah memaksa, taruh saja piring makanan di sebelahnya dan minta ia makan bila sudah selesai. Atau, pada saat dia sedang asyik bermain, sediakan saja finger food/cemilan yang mudah mereka comot tanpa harus meninggalkan keasyikannya. Sebaiknya selalu sediakan cemilan sehat yang mengandung gizi cukup, semisal bakwan sayuran. Setelah mereka bilang lapar, baru sediakan nasi beserta lauk pauk lengkap.
Trik lain, saat waktu makan tiba, bila perlu kita tawarkan anak mau makan apa. Biasanya, kalau karena pilihannya sendiri, anak akan makan dengan lahap.
TIDAK MENANGGAPI AJAKAN BERKOMUNIKASI
Sering karena sedang asyik memasak di dapur atau membaca koran, kita "mengusir" anak yang ingin mengajak ngobrol. Padahal, di usia prasekolah, otak anak selalu dipenuhi keingintahuan yang maunya segera dijawab, tak peduli pada kesempatan apa pun.
Bila setiap saat anak mengeskpresikan keingintahuannya tapi tak pernah direspons dengan tepat, maka rasa ingin tahu ini lama-lama terkikis habis. Anak jadi malas bertanya, karena setiap kali bertanya, tak pernah digubris orang tuanya.
Lebih parah lagi, anak jadi apatis. Pada setiap kesempatan, dia tetap saja malas buka mulut karena tumbuh perasaan, dirinya mengganggu buat orang tua. Di lain pihak, orang tua maunya anak selalu ingin tahu dan berani mengekspresikan pikiran-pikirannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Harusnya, orang tua tak mematikan keingintahuan anak. Bila anak bertanya di saat kita sedang repot atau sedang tak ingin diganggu, buatlah kesepakatan dengan anak. Katakan padanya, misal, "Kak, Mama sedang repot di dapur. Bagaimana kalau lima menit lagi?" Karena anak usia prasekolah belum tahu konsep jam, gunakanlah weker. Benda ini wajib ada bila kita mulai membuat kesepakatan dengan anak berdasarkan waktu. Tunjukkan dengan weker, jam berapa (jarum pendek dan jarum panjang di angka berapa) ibu sudah bisa diganggu. Tentu ibu harus konsekuen dengan waktu yang telah disepakati.
Melalui "kesepakatan weker", anak dilatih kesabarannya tanpa kehilangan kesempatan berkomunikasi dengan orang tua. Lama-kelamaan ia pun akan belajar, kapan waktu yang tepat untuk bertanya atau mengobrol dengan orang tua. Misal, ibu tidak akan bisa ditanyai kalau sedang di dapur atau baru saja pulang kantor. Atau, ayah tak mau diganggu bila sedang baca koran. Anak juga akan belajar menghormati privasi dan kesibukan orang lain.
MELARANG TANPA MENJELASKAN
Dalam soal keselamatan, memang tak boleh ada kata kompromi. Namun yang sering terjadi, orang tua melarang tanpa memberitahu alasannya. Apalagi menerangkan fungsinya dengan benar. Contoh, anak memotong kertas dengan gunting yang biasa dipakai orang tua untuk menggunting kain. Melihat hal itu, dengan serta merta orang tua merebut gunting tersebut sambil berkata dengan nada tinggi, "Tidak boleh! Ini bukan gunting mainan!"
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, belajar yang paling baik adalah belajar dengan benda-benda yang riil. Pisau ataupun gunting menjadi benda berbahaya atau tidak, tergantung bagaimana kita memperkenalkannya. Kalau kita melarang anak memegang gunting tanpa menunjukkan fungsi sebenarnya, tentu menimbulkan tanda tanya pada si anak, "Mengapa, kok, aku enggak boleh main gunting?" Rasa penasaran ini akhirnya membuat anak malah menggunakan gunting tersebut untuk hal-hal berbahaya, ketika dia sedang tidak dalam pengawasan orang tua.
Ingat, di usia prasekolah, rasa ingin tahu anak sangat besar. Anak pun cenderung senang pada sesuatu yang jarang diekspos kepada mereka, seperi benda-benda tajam itu. Akibatnya, mereka jadi semakin tergoda untuk mencoba. Tetapi kalau dari awal diberi tahu, "Kak, gunting ini tajam. Ini bagian gunting yang tajam. Jadi harus hati-hati memegangnya. Kakak boleh memakai gunting ini, tetapi cara memakainya seperti ini."
Dengan orang tua menjelaskan dan memeragakannya, anak akan mengerti. Dia pun akan lebih percaya diri saat menggunakan benda tajam itu karena sudah memunyai kontrol yang bagus.
MENUNGGUI ANAK DI SEKOLAH
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di sekolah sering berdalih anaknya belum siap ditinggal. Padahal, ini seperti lingkaran setan. Setiap anak punya attachment dengan perasaan orang tuanya. Bila ibu "tak rela" meninggalkan anaknya di kelas, perasaan ini bisa terbaca oleh anak. Akibatnya, anak pun akan merasa cemas dan akibatnya di kelas menjadi rewel. Sementara si ibu melihat, dia rewel karena tak bisa ditinggal. Jadi, seperti lingkaran yang tak terputus.
Penting diingat, faktor kesiapan anak cukup berpengaruh terhadap keberhasilannya selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang ketergantungannya pada orang lain, terutama orang tua. Kalau ia tak kunjung siap, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di kelas. Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja. Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung dengan teman-temannya sekelas.
Masalah menunggui anak ini sering muncul pada ibu-ibu yang tidak bekerja. Itu karena sebagai full time mother, waktu mereka sepenuhnya ditumpahkan dengan selalu menghabiskan waktu bersama anak. Sebelum masa sekolah, si ibu bisa membawa anaknya ke mana-mana. Begitu anak sekolah, hubungan ini jadi terputus. Mungkin secara psikologis, si ibu kehilangan identitas diri, sehingga terus berusaha mengupayakan hubungan dengan anak, dengan cara mendampinginya terus, termasuk menunggui di sekolah.
Padahal bila terus ditunggui, rasa percaya diri anak menjadi tidak berkembang. Ia tidak kunjung yakin bisa menjaga dirinya sendiri. Padahal di usia prasekolah, penting bagi anak untuk punya perasaan otoritas, yaitu kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain itu, situasi ini bisa membingungkan anak karena di satu pihak, dirinya selalu ditunggui dan diawasi oleh ibu, tapi di lain pihak, ia juga dituntut kemandiriannya. Misal, harus makan sendiri, mandi sendiri dan lain-lainnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Berhentilah menunggui anak di sekolah. Bila tindakan ini tak bisa dilakukan secara langsung, maka lakukan secara bertahap. Misalnya, hanya lima belas menit pertama saja ia ditunggui, setelah itu tinggalkan sampai waktunya dijemput.
Ada juga kasus anak sudah mau ditinggal tapi suatu waktu ia ingin ditunggui orang tuanya di sekolah dengan alasan bermacam-macam. Dalam hal ini, boleh saja orang tua menuruti keinginan anak tetapi tak perlu menungguinya sepanjang waktu. Cukup selama 15 menit pertama (di kelas atau di dekat jendela kelas bila diizinkan) setelah itu menyingkirlah ke area yang tidak terlihat anak.
Bila ibu memang "tak sanggup" berpisah dari anaknya, cobalah lakukan kegiatan bermanfaat di sela-sela waktu menunggu. Di antaranya, ibu bisa mengajukan diri ke pihak sekolah sebagai volunteer (sukarelawan), misalnya menjadi story teller (pencerita di kelas) atau menjadi koordinator kegiatan sosial yang diadakan sekolah.
MEMBERI BANYAK MAINAN TAPI TAK PERNAH MENEMANI BERMAIN
Boleh saja memberikan banyak mainan kepada anak, tetapi apalah artinya itu semua bila orang tua tak pernah menemani anak bermain. Sering orang tua berdalih, "Toh, anak sudah dibelikan mainan yang bersifat edukatif." Contohnya, pasel atau permainan balok susun. Padahal, tanpa pendampingan orang tua, anak tak mampu mengerti fungsi mainan tersebut.
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, apa pun jenis mainan yang diberikan kepada anak, tak jadi soal. Termasuk robot-robotan dan senjata yang kerap digolongkan bukan mainan edukatif. Justru lebih baik anak memainkan kedua mainan tersebut tetapi didampingi orang tua ketimbang memainkan mainan edukatif tetapi si anak dibiarkan bermain sendirian.
Pasalnya, dengan orang tua mendampingi anak bermain, minimal orang tua dapat mengenalkan sesuatu yang baru pada anak lewat media mainan. Saat anak bermain pistol-pistolan, orang tua bisa menjelaskan kegunaan senjata tersebut bahwa pistol digunakan bukan untuk tujuan sadisme tetapi untuk tujuan lain yang lebih positif, misal.
Dengan kata lain, mainan apa pun bisa menjadi edukatif selama orang tua bisa menggunakan mainan tersebut sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan kepada anak. Terlebih di usia prasekolah dimana penanaman nilai-nilai sosial banyak diperkenalkan, mainan bisa menjadi media yang efektif.
ANAK TAK DIBIASAKAN MEMILIH
Di usia 4 tahun, anak mulai punya dorongan untuk melakukan apa-apa sendiri. Mereka berada pada tahap otoritas atau ingin menunjukkan siapa aku. Kemampuan kognitif yang meningkat dengan cepat juga mendorong mereka untuk selalu ingin melakukan apa-apa sendiri. Tetapi karena masih belajar, tentu butuh bimbingan orang tua. Yang paling baik, anak diberikan pilihan-pilihan, lalu diajarkan bertanggungjawab pada pilihannya. Namun yang kerap terjadi, orang tua justru bertindak sebaliknya.
Segala sesuatu untuk anak dipilihkan dan diputuskan sendiri oleh orang tua tanpa melibatkan anak. Sikap orang tua yang seperti ini sungguh tak baik dampaknya buat perkembangan anak. Salah satunya, anak jadi tak bisa menentukan pilihan. Ia cenderung mengekor pada pilihan dan keputusan orang lain. Kasihan, bukan?
TINDAKAN YANG BENAR:
Penting mengajari anak untuk memutuskan pilihannya sendiri. Contoh, memilih baju yang akan dipakainya setelah mandi, pergi ke mal, atau baju tidur. Bila orang tua khawatir pilihan anak tidak cocok, maka orang tua bisa memberikan beberapa alternatif pilihan, "Kakak mau pakai kaos merah atau blus kembang-kembang kuning ini?"
Tentunya, untuk hal-hal yang sifatnya berbahaya, orang tua tak bisa memberikan pilihan. Tetapi anak harus dijelaskan, mengapa ia tak boleh bermain dengan menggunakan gunting milik orang tua, misal. Kemudian berikan alternatifnya, yaitu gunting yang dirancang khusus untuk anak. Tetapi bermainnya dengan didampingi orang tua.
Dengan begitu, anak terpuaskan. Dia pun tahu, mengapa ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh, terutama yang berkaitan dengan keselamatan. Bila perlu, buatlah daftar hal-hal yang masih bisa dikompromikan dan yang tidak. Jabarkan semuanya kepada anak. Dari sini anak bisa melihat, "Meski aku enggak boleh melakukan A, tetapi aku boleh melakukan B." Anak juga belajar, tidak semua yang diinginkannya akan dia peroleh.
Memberikan kesempatan memilih pada anak bukan cuma mengajarkan kemandirian, tetapi juga membuat anak merasa dihargai karena boleh memilih dan dipercaya menjalankan pilihannya. Dengan terbiasa diberi pilihan, anak juga akan belajar bertanggungjawab pada pilihannya. Lambat laun, ia pun mengasah kemampuannya untuk memutuskan sesuatu dengan lebih baik. (tabloid-nakita)
MEMAKSA ANAK MENGHENTIKAN AKTIVITASNYA
Di usia prasekolah, anak mulai menggemari kegiatan mengasyikkan yang terfokus pada dirinya. Contoh, asyik menonton televisi atau asyik mengutak-utik hobinya semisal menggambar. Saking asyiknya, si anak sampai "lupa" waktu: waktu untuk makan, tidur, mandi, dan lainnya. Di sisi lain, anak usia prasekolah memang belum paham mengenai konsep waktu sehingga masih perlu diingatkan. Ia pun sedang dalam tahap belajar menyesuaikan diri dengan aturan dan tuntutan yang ada di lingkungannya.
Sayangnya, banyak orang tua tak paham akan hal ini. Hingga yang kerap terjadi, umumnya orang tua malah akan menyuruh anak untuk menghentikan keasyikannya itu, "Kakak, ayo, menggambarnya udahan. Sekarang waktunya mandi!" Jika si anak menolak, "Sebentar, Ma, dikit lagi, nih!", orang tua pun memaksa, "Tidak! Sekarang sudah waktunya mandi, jadi kamu harus mandi!" Padahal, sikap orang tua yang demikian hanya akan membuat anak jadi tak punya otoritas terhadap diri sendiri karena anak tak punya kemampuan memutuskan sendiri apa yang menjadi prioritasnya. Di masa depan, tentu sulit bila anak tak punya kemampuan memutuskan apa yang penting dan menjadi prioritas hidupnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Selama ini, memang orang tualah yang selalu membuatkan jadwal untuk anak. Misal, jadwal mandi, makan dan tidur. Mengapa tidak memberi mereka kesempatan pada anak untuk mengatur sendiri jadwalnya? Jikapun anak masih melakukan aktivitas lain sehingga melanggar jadwal yang dibuatnya, orang tua dapat memberinya pengertian, "Kak, sekarang, kan, sudah jam 5. Ayo, jadwal Kakak, kan, jam 5 Mandi. Itu angkanya sudah jam 5, berarti kakak harus mandi." Bila mereka masih ingin mengulur waktu, berikan tenggang yang tak terlalu lama, "Oke, Mama kasih waktu 10 menit lagi, ya. Kalau jarum panjang ini sudah sampai di angka 2 (pukul 5 lebih 10), berarti Kakak harus berhenti menggambar, lalu mandi. Kalau ditunda lagi nanti kemalaman."
Beri juga pengertian, pentingnya menepati jadwal yang sudah dibuat sendiri. Tentu orang tua juga tak boleh terlalu saklek. Bila hari libur, jadwal anak boleh lebih santai. Sebaliknya, bila anak harus les atau diajak pergi, terangkan lebih awal bahwa jadwalnya "terpaksa" berubah. Contoh, "Kak, hari ini mandi sorenya jam 4, ya, karena Kakak akan Ibu ajak pergi."
MENYUAPI MAKAN
Banyak orang tua masih kerap menyuapi anaknya makan. Umumnya supaya si anak mau makan. Apalagi di usia prasekolah, kalau sedang asyik menekuni sesuatu kegiatan, anak bisa sampai lupa waktu. Nah, daripada si anak tertunda waktu makannya, maka orang tua pun menyuapinya sambil si anak tetap asyik dengan aktivitasnya itu.
Padahal, jika anak tak dibiasakan makan sendiri, bisa-bisa sampai di akhir usia prasekolah pun, si anak belum terampil makan sendiri. Padahal, di usia 5 tahun harusnya anak sudah bisa makan sendiri, bahkan memotong makanan dengan pisau.
Selain itu, dengan orang tua terbiasa menyuapi anaknya makan, anak jadi tak mandiri. Bisa-bisa, mereka hanya mau makan bila disuapi oleh ibu atau pengasuh. Nah, bila kebetulan ibu pergi atau si pengasuh repot, tentu mereka tidak akan makan, kan?
Kesalahan ini sering juga bersumber pada anggapan, anak yang gemuk mencerminkan orang tua yang pandai merawat. Bila si anak kurus, orang tua takut dianggap tak perhatian pada anak. Itulah sebabnya, bila anak mulai ogah-ogahan makan, orang tua pun panik. Selanjutnya, acara makan seringkali menjadi ajang berantem antara orang tua dan anak, lantaran orang tua memaksa si anak untuk makan.
Padahal, gemuk-kurusnya si anak tak dapat dijadikan patokan untuk menilai "kepandaian" orang tua dalam merawat anak. Di sisi lain, tak heran bila disuruh makan, ia lantas menolak. Jika dipaksa, lambat-laun akan membuat anak mengasosiasikan acara makan sebagai suatu yang tidak menyenangkan sehingga makannya malah makin susah. Padahal, kalau saja orang tua tahu triknya, anak pasti akan makan. Yang penting kita yakin anak tidak mau makan bukan karena sakit. Cirinya, meski tak mau makan, anak tetap aktif melakukan kegiatannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Bila anak asyik menekuni sesuatu sampai lupa waktu makan, orang tua harus menerangkan perlunya makan. Misal, "Kalau Kakak tidak mau makan, Kakak akan sakit. Kalau Kakak sakit, nanti enggak bisa main dan ke sekolah, loh. Kan, nanti juga enggak bisa main di sekolah."
Jika anak tak mau makan tapi tetap melakukan kegiatan, berarti memang dia sedang memilih untuk menunda makannya. Tak usah memaksa, taruh saja piring makanan di sebelahnya dan minta ia makan bila sudah selesai. Atau, pada saat dia sedang asyik bermain, sediakan saja finger food/cemilan yang mudah mereka comot tanpa harus meninggalkan keasyikannya. Sebaiknya selalu sediakan cemilan sehat yang mengandung gizi cukup, semisal bakwan sayuran. Setelah mereka bilang lapar, baru sediakan nasi beserta lauk pauk lengkap.
Trik lain, saat waktu makan tiba, bila perlu kita tawarkan anak mau makan apa. Biasanya, kalau karena pilihannya sendiri, anak akan makan dengan lahap.
TIDAK MENANGGAPI AJAKAN BERKOMUNIKASI
Sering karena sedang asyik memasak di dapur atau membaca koran, kita "mengusir" anak yang ingin mengajak ngobrol. Padahal, di usia prasekolah, otak anak selalu dipenuhi keingintahuan yang maunya segera dijawab, tak peduli pada kesempatan apa pun.
Bila setiap saat anak mengeskpresikan keingintahuannya tapi tak pernah direspons dengan tepat, maka rasa ingin tahu ini lama-lama terkikis habis. Anak jadi malas bertanya, karena setiap kali bertanya, tak pernah digubris orang tuanya.
Lebih parah lagi, anak jadi apatis. Pada setiap kesempatan, dia tetap saja malas buka mulut karena tumbuh perasaan, dirinya mengganggu buat orang tua. Di lain pihak, orang tua maunya anak selalu ingin tahu dan berani mengekspresikan pikiran-pikirannya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Harusnya, orang tua tak mematikan keingintahuan anak. Bila anak bertanya di saat kita sedang repot atau sedang tak ingin diganggu, buatlah kesepakatan dengan anak. Katakan padanya, misal, "Kak, Mama sedang repot di dapur. Bagaimana kalau lima menit lagi?" Karena anak usia prasekolah belum tahu konsep jam, gunakanlah weker. Benda ini wajib ada bila kita mulai membuat kesepakatan dengan anak berdasarkan waktu. Tunjukkan dengan weker, jam berapa (jarum pendek dan jarum panjang di angka berapa) ibu sudah bisa diganggu. Tentu ibu harus konsekuen dengan waktu yang telah disepakati.
Melalui "kesepakatan weker", anak dilatih kesabarannya tanpa kehilangan kesempatan berkomunikasi dengan orang tua. Lama-kelamaan ia pun akan belajar, kapan waktu yang tepat untuk bertanya atau mengobrol dengan orang tua. Misal, ibu tidak akan bisa ditanyai kalau sedang di dapur atau baru saja pulang kantor. Atau, ayah tak mau diganggu bila sedang baca koran. Anak juga akan belajar menghormati privasi dan kesibukan orang lain.
MELARANG TANPA MENJELASKAN
Dalam soal keselamatan, memang tak boleh ada kata kompromi. Namun yang sering terjadi, orang tua melarang tanpa memberitahu alasannya. Apalagi menerangkan fungsinya dengan benar. Contoh, anak memotong kertas dengan gunting yang biasa dipakai orang tua untuk menggunting kain. Melihat hal itu, dengan serta merta orang tua merebut gunting tersebut sambil berkata dengan nada tinggi, "Tidak boleh! Ini bukan gunting mainan!"
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, belajar yang paling baik adalah belajar dengan benda-benda yang riil. Pisau ataupun gunting menjadi benda berbahaya atau tidak, tergantung bagaimana kita memperkenalkannya. Kalau kita melarang anak memegang gunting tanpa menunjukkan fungsi sebenarnya, tentu menimbulkan tanda tanya pada si anak, "Mengapa, kok, aku enggak boleh main gunting?" Rasa penasaran ini akhirnya membuat anak malah menggunakan gunting tersebut untuk hal-hal berbahaya, ketika dia sedang tidak dalam pengawasan orang tua.
Ingat, di usia prasekolah, rasa ingin tahu anak sangat besar. Anak pun cenderung senang pada sesuatu yang jarang diekspos kepada mereka, seperi benda-benda tajam itu. Akibatnya, mereka jadi semakin tergoda untuk mencoba. Tetapi kalau dari awal diberi tahu, "Kak, gunting ini tajam. Ini bagian gunting yang tajam. Jadi harus hati-hati memegangnya. Kakak boleh memakai gunting ini, tetapi cara memakainya seperti ini."
Dengan orang tua menjelaskan dan memeragakannya, anak akan mengerti. Dia pun akan lebih percaya diri saat menggunakan benda tajam itu karena sudah memunyai kontrol yang bagus.
MENUNGGUI ANAK DI SEKOLAH
Ibu-ibu yang menunggui putra-putrinya di sekolah sering berdalih anaknya belum siap ditinggal. Padahal, ini seperti lingkaran setan. Setiap anak punya attachment dengan perasaan orang tuanya. Bila ibu "tak rela" meninggalkan anaknya di kelas, perasaan ini bisa terbaca oleh anak. Akibatnya, anak pun akan merasa cemas dan akibatnya di kelas menjadi rewel. Sementara si ibu melihat, dia rewel karena tak bisa ditinggal. Jadi, seperti lingkaran yang tak terputus.
Penting diingat, faktor kesiapan anak cukup berpengaruh terhadap keberhasilannya selama menjalani proses belajar di TK. Selain dari segi usia memang sudah waktunya, si kecil pun harus sudah berkurang ketergantungannya pada orang lain, terutama orang tua. Kalau ia tak kunjung siap, bisa setiap hari Anda harus menungguinya dan bahkan menemaninya di kelas. Padahal, tak setiap TK membolehkan anak ditunggui dan ditemani seperti itu. Kalaupun boleh, hanya selama beberapa hari pertama saja. Selanjutnya, anak sudah harus masuk sendiri ke dalam kelas dan bergabung dengan teman-temannya sekelas.
Masalah menunggui anak ini sering muncul pada ibu-ibu yang tidak bekerja. Itu karena sebagai full time mother, waktu mereka sepenuhnya ditumpahkan dengan selalu menghabiskan waktu bersama anak. Sebelum masa sekolah, si ibu bisa membawa anaknya ke mana-mana. Begitu anak sekolah, hubungan ini jadi terputus. Mungkin secara psikologis, si ibu kehilangan identitas diri, sehingga terus berusaha mengupayakan hubungan dengan anak, dengan cara mendampinginya terus, termasuk menunggui di sekolah.
Padahal bila terus ditunggui, rasa percaya diri anak menjadi tidak berkembang. Ia tidak kunjung yakin bisa menjaga dirinya sendiri. Padahal di usia prasekolah, penting bagi anak untuk punya perasaan otoritas, yaitu kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain itu, situasi ini bisa membingungkan anak karena di satu pihak, dirinya selalu ditunggui dan diawasi oleh ibu, tapi di lain pihak, ia juga dituntut kemandiriannya. Misal, harus makan sendiri, mandi sendiri dan lain-lainnya.
TINDAKAN YANG BENAR:
Berhentilah menunggui anak di sekolah. Bila tindakan ini tak bisa dilakukan secara langsung, maka lakukan secara bertahap. Misalnya, hanya lima belas menit pertama saja ia ditunggui, setelah itu tinggalkan sampai waktunya dijemput.
Ada juga kasus anak sudah mau ditinggal tapi suatu waktu ia ingin ditunggui orang tuanya di sekolah dengan alasan bermacam-macam. Dalam hal ini, boleh saja orang tua menuruti keinginan anak tetapi tak perlu menungguinya sepanjang waktu. Cukup selama 15 menit pertama (di kelas atau di dekat jendela kelas bila diizinkan) setelah itu menyingkirlah ke area yang tidak terlihat anak.
Bila ibu memang "tak sanggup" berpisah dari anaknya, cobalah lakukan kegiatan bermanfaat di sela-sela waktu menunggu. Di antaranya, ibu bisa mengajukan diri ke pihak sekolah sebagai volunteer (sukarelawan), misalnya menjadi story teller (pencerita di kelas) atau menjadi koordinator kegiatan sosial yang diadakan sekolah.
MEMBERI BANYAK MAINAN TAPI TAK PERNAH MENEMANI BERMAIN
Boleh saja memberikan banyak mainan kepada anak, tetapi apalah artinya itu semua bila orang tua tak pernah menemani anak bermain. Sering orang tua berdalih, "Toh, anak sudah dibelikan mainan yang bersifat edukatif." Contohnya, pasel atau permainan balok susun. Padahal, tanpa pendampingan orang tua, anak tak mampu mengerti fungsi mainan tersebut.
TINDAKAN YANG BENAR:
Sebenarnya, apa pun jenis mainan yang diberikan kepada anak, tak jadi soal. Termasuk robot-robotan dan senjata yang kerap digolongkan bukan mainan edukatif. Justru lebih baik anak memainkan kedua mainan tersebut tetapi didampingi orang tua ketimbang memainkan mainan edukatif tetapi si anak dibiarkan bermain sendirian.
Pasalnya, dengan orang tua mendampingi anak bermain, minimal orang tua dapat mengenalkan sesuatu yang baru pada anak lewat media mainan. Saat anak bermain pistol-pistolan, orang tua bisa menjelaskan kegunaan senjata tersebut bahwa pistol digunakan bukan untuk tujuan sadisme tetapi untuk tujuan lain yang lebih positif, misal.
Dengan kata lain, mainan apa pun bisa menjadi edukatif selama orang tua bisa menggunakan mainan tersebut sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan kepada anak. Terlebih di usia prasekolah dimana penanaman nilai-nilai sosial banyak diperkenalkan, mainan bisa menjadi media yang efektif.
ANAK TAK DIBIASAKAN MEMILIH
Di usia 4 tahun, anak mulai punya dorongan untuk melakukan apa-apa sendiri. Mereka berada pada tahap otoritas atau ingin menunjukkan siapa aku. Kemampuan kognitif yang meningkat dengan cepat juga mendorong mereka untuk selalu ingin melakukan apa-apa sendiri. Tetapi karena masih belajar, tentu butuh bimbingan orang tua. Yang paling baik, anak diberikan pilihan-pilihan, lalu diajarkan bertanggungjawab pada pilihannya. Namun yang kerap terjadi, orang tua justru bertindak sebaliknya.
Segala sesuatu untuk anak dipilihkan dan diputuskan sendiri oleh orang tua tanpa melibatkan anak. Sikap orang tua yang seperti ini sungguh tak baik dampaknya buat perkembangan anak. Salah satunya, anak jadi tak bisa menentukan pilihan. Ia cenderung mengekor pada pilihan dan keputusan orang lain. Kasihan, bukan?
TINDAKAN YANG BENAR:
Penting mengajari anak untuk memutuskan pilihannya sendiri. Contoh, memilih baju yang akan dipakainya setelah mandi, pergi ke mal, atau baju tidur. Bila orang tua khawatir pilihan anak tidak cocok, maka orang tua bisa memberikan beberapa alternatif pilihan, "Kakak mau pakai kaos merah atau blus kembang-kembang kuning ini?"
Tentunya, untuk hal-hal yang sifatnya berbahaya, orang tua tak bisa memberikan pilihan. Tetapi anak harus dijelaskan, mengapa ia tak boleh bermain dengan menggunakan gunting milik orang tua, misal. Kemudian berikan alternatifnya, yaitu gunting yang dirancang khusus untuk anak. Tetapi bermainnya dengan didampingi orang tua.
Dengan begitu, anak terpuaskan. Dia pun tahu, mengapa ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh, terutama yang berkaitan dengan keselamatan. Bila perlu, buatlah daftar hal-hal yang masih bisa dikompromikan dan yang tidak. Jabarkan semuanya kepada anak. Dari sini anak bisa melihat, "Meski aku enggak boleh melakukan A, tetapi aku boleh melakukan B." Anak juga belajar, tidak semua yang diinginkannya akan dia peroleh.
Memberikan kesempatan memilih pada anak bukan cuma mengajarkan kemandirian, tetapi juga membuat anak merasa dihargai karena boleh memilih dan dipercaya menjalankan pilihannya. Dengan terbiasa diberi pilihan, anak juga akan belajar bertanggungjawab pada pilihannya. Lambat laun, ia pun mengasah kemampuannya untuk memutuskan sesuatu dengan lebih baik. (tabloid-nakita)
Post a Comment for "STOP 7 KESALAHAN AGAR ANAK TERAMPIL DAN MANDIRI"