Active Learning, Benarkah yang terbaik?

Pelajaran tak hanya sekadar menjadi hafalan, karena akan lebih dipahami dan dihayati anak.

Istilah active learning mestinya sudah tidak asing lagi. Menurut Dra. Gerda. K. Wanei, M.Psi., metode ini muncul akibat adanya keprihatinan terhadap metode pembelajaran yang menganggap murid sebagai bejana yang harus diisi. Akibatnya, guru hanya berfokus pada pemberian sekumpulan materi tanpa menganggap penting pengkondisian proses belajar para siswa.

Hasil yang diharapkan pun hanya berupa nilai bukan perubahan perilaku. Dalam metode "bejana kosong" itu pelajaran yang diberikan hanyalah berupa hafalan. Alhasil, para murid boleh jadi dapat menjawab sebagian besar pertanyaaan yang diujikan, tapi setelah itu lupa. "Tidak terpikir oleh mereka kalau pelajaran yang diterimanya dapat berguna dalam kehidupan di masa yang akan datang," ujar Kepala Jurusan Bimbingan Konseling FKIP, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta ini.

Prof. Dr. Soegeng Santoso yang ditemui di tempat berbeda, mengistilahkan metode guru aktif-siswa pasif tersebut sebagai pendidikan "gaya bank". Guru dianggap serbatahu, serbahebat atau serbapaling pintar, sehingga semua inisiatif pembelajaran berasal dari guru sedangkan murid hanya menerima atau mendengarkan saja. Alhasil, pendidikan "gaya bank" membuat murid jadi kurang berani bicara, tidak berani berargumentasi dan tidak kreatif.

METODE SI PRASEKOLAH

Oleh sebab itulah, Gerda maupun Soegeng sepakat metode yang dikenal juga sebagai metode teacher centre ini bukan metode yang tepat bagi dunia pendidikan, apalagi pendidikan anak-anak prasekolah. Bagaimanapun, anak-anak TK memiliki ciri khas yang ditunjukkan dengan sifat aktif, selalu bergerak, selalu bermain, polos, tidak ada beban, punya rasa ingin tahu yang besar, dan haus bertanya. Pendidikan "gaya bank" tentu akan membekukan kreativitas anak.

Gerda melontarkan contoh kasus dalam pelajaran menggambar. "Masih banyak guru TK yang memberikan konsep pemandangan dalam dua buah segitiga yang di tengahnya diberi bulatan sebagai gambaran matahari. Padahal pada kenyataannya tak semua pemandangan akan seperti itu. Bukankah alam selalu berubah? Sudah begitu, guru akan menyalahkan jika gambar anak tak sesuai dengan konsep yang diberikannya. Inilah mengapa metode tersebut bisa mematikan kreativitas siswa."

Hal senada pun diungkapkan oleh Soegeng. "Gambar anak-anak tidak seperti gambar orang dewasa. Misalnya, gambar kucing yang sedang menerkam mungkin hanya berupa mata dan tangan. Kaki kucing tidak ada karena tidak masuk dalam perhitungan anak. Oleh karena itulah orang yang menilai gambar anak harus mengerti jiwa kanak-kanak. Jangan dikatakan 'Ah, gambar ini jelek. Masak, ukuran antara kepala dengan kaki tidak sebanding.' Enggak bisa begitu karena itu, kan, ukuran orang dewasa. Ukuran anak-anak lain lagi," papar Sekretaris Eksekutif Lembaga Akta Mengajar Univeristas Negeri Jakarta ini.

TAK HANYA HAFALAN

Alhasil, cara belajar yang bersifat lecturing atau guru menerangkan dan murid hanya menerima sekarang ini sudah tidak sesuai. Sebaliknya, berdasarkan metode psikologi modern, murid diarahkan untuk menjadi aktif, tak hanya dicekoki guru. Pendidikan pun bukan sekadar hafalan lagi, tapi bagaimana agar anak menjadi paham.

Salah satunya dengan menggunakan media. "Media terbaik adalah benda yang sebenarnya. Kalau tidak mungkin, bisa diganti dengan model atau tiruan. Bila masih tidak mungkin, ganti dengan gambar. Dengan begitu anak akan mengerti secara konkret dan bisa menghayati, bahkan bisa mencoba sendiri,

Cara pembelajaran semacam itu, menurut Gerda, akan lama tersimpan dalam daya ingat anak. Sesuai dengan filosofi Konfusius, I Hear - I Forget; I See - I Remember; dan I Do - I Understand.

MURID SEBAGAI SUBJEK

Itulah sebabnya, metode pendidikan yang terbaik bagi anak-anak, terutama di usia prasekolah adalah metode active learning atau pembelajaran secara aktif. Maksudnya, guru wajib menciptakan suasana belajar bersama-sama para siswa. Murid pun dianggap sebagai subjek dan bukan objek lagi. "Dalam active learning, tugas guru hanya memberikan fasilitas, membimbing, dan mengawasi.

Jadi, anak diberi kesempatan untuk bebas bereksplorasi, tapi pengertian bebas ini tentunya tidak terlepas dari norma-norma pedagogis.

QUANTUM LEARNING

Nah, salah satu jenis active learning yang tengah didengung-dengungkan saat ini adalah quantum learning. Menurut Gerda, metode pembelajaran ini mengupayakan pengelolaan kelas yang kondusif untuk menumbuhkan sikap positif dalam proses belajar.

Salah satu sarat utama untuk menciptakan kelas yang kondusif adalah guru harus memperhatikan keunikan yang dimiliki setiap siswa. Berangkat dari pengenalan ini, dalam metode quantum diterapkan rumus AMBAK yang merupakan singkatan dari:

A: Apa yang dipelajari

Dalam pelajaran menggambar misalnya, guru hanya menetap- kan pelajaran menggambar dan para siswa sendiri yang menentukan tema gambarnya sesuai dengan minat masing-masing. "Misalnya, mereka dibawa ke sebuah lapangan lalu dibiarkan menggambar hal-hal yang disukai."

M: Manfaat

Terkadang guru lupa menjelaskan manfaat yang diperoleh dari pelajaran yang diajarkan. Contohnya, pelajaran tentang fungsi serangga. Walaupun kecil, tanpa serangga maka banyak kehidupan di alam ini bisa terhenti.

"Intinya, guru harus memberi kemampuan memahami situasi yang sebenarnya (insight), sehingga murid tertantang untuk mempelajari semua hal dengan lebih mendalam."

BAK: Bagiku

Manfaat apa yang akan saya dapat di kemudian hari dengan mempelajari ini semua. Misalnya, pelajaran bahasa Mandarin bagi anak yang hidup di daerah pecinan akan sangat bermanfaat. Terlebih bila nantinya ia bercita-cita menjadi pelaku bisnis. Namun, tidak begitu dengan anak-anak di Bali yang lebih memerlukan pelajaran seni tari ketimbang bahasa Mandarin. "Jadi, quantum lebih menekankan pada pembelajaran yang sarat makna dan sistem nilai yang bisa dikontribusikan kelak saat anak dewasa nanti."

Teknik pembelajaran quantum ini disingkat menjadi TANDUR:

T: Tumbuhkan minat belajar

A: Aktifkan anak untuk menciptakan pengalaman baru

N: Namai semua konsep pembelajaran

D: Demonstrasikan, dengan begitu anak akan lebih memahami pelajaran.

U: Ulangi, karena semakin sering diulang maka semakin kuat pelajaran melekat dalam ingatan.

R: Rayakan, apa yang sudah dipelajari anak ditunjukkan, sehingga orang lain juga tahu.

Misalnya guru akan menjelaskan macam-macam profesi. Masing-masing murid akan masuk ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan cita-citanya. "Nah, tugas guru adalah merencanakan apa yang penting dari masing-masing profesi tersebut. Lalu, murid diminta mendemonstrasikannya di hadapan kelompok lain, dan tiap-tiap kelompok dapat bertanya tentang profesi-profesi tersebut."

Tentu saja, metode quantum yang merupakan penerapan dari metode active learning memerlukan sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Di atas semua itu, metode ini membutuhkan sumber daya atau guru yang tidak hanya bisa berdiri di depan kelas tapi juga bisa berpikir inovatif. Bagaimana murid bisa kreatif bila gurunya tidak kreatif?

Faras Handayani. Foto: Ferdi/nakita

Post a Comment for "Active Learning, Benarkah yang terbaik?"