Mengukur tingkat kreatifitas

Kreativitas pada anak merupakan dasar penting bagi kemampuannya menghadapi perubahan zaman di masa depan. Sejauh mana tingkat kreativitasnya ternyata bisa diukur melalui tes. Apa saja yang dinilai?

Menurut Prof. Dr. Sukarni Catur Utami Munandar, Dipl. Psych., untuk menjadi individu kreatif, dibutuhkan kemampuan berpikir yang mengalir lancar, bebas, dan ide yang orisinal yang didapat dari alam pikirannya sendiri. Berpikir kreatif juga menuntut yang bersangkutan memiliki banyak gagasan, dan itu semua tidaklah gampang. Dengan kata lain, agar anak bisa berpikir kreatif, ia haruslah bisa bersikap terbuka dan fleksibel dalam mengemukakan gagasan. Makin banyak ide yang dicetuskannya menandakan makin kreatif si anak.

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kreativitas seorang anak, pakar pendidikan ini berupaya mengembangkan tes kreativitas verbal dan figural. Tes kreativitas verbal dilakukan pada anak berusia minimal 10 tahun karena dianggap sudah lancar menulis dan kemampuan berbahasanya pun sudah berkembang. Sedangkan tes kreativitas figural dilakukan terhadap anak mulai usia 5 tahun.

UNSUR PENILAIAN BERPIKIR KREATIF

* Fleksibilitas

Anak mampu memberikan jawaban yang berbeda-beda. Untuk gambar lingkaran, contohnya, anak mengasosiasikannya sebagai piring, bulan, bola, telur dadar dan sebagainya. Anak juga diminta untuk membuat sebanyak mungkin objek mati maupun hidup pada gambar lingkaran tadi. Namun, tes kreativitas ini bukan dimaksudkan sebagai tes menggambar, melainkan sebagai tes gagasan, sehingga unsur "keindahan" tidak diprioritaskan.

* Orisinalitas

Anak mampu memberikan jawaban yang jarang/langka dan berbeda dengan jawaban anak lain pada umumnya. Dari bentuk lingkaran yang sama, contohnya, anak mahir menggambarkannya sebagai wajah orang.

* Elaborasi

Anak mampu memberikan jawaban secara rinci sekaligus mampu memperkaya dan mengembangkan jawaban tersebut. Dia bisa melengkapi gambar wajah tersebut dengan mata, hidung, bibir, telinga, leher, rambut sampai aksesoris semisal kalung dan jepit rambut. Makin detail ornamen atau organ-organ yang digambarkannya, berarti mencirikan ia anak yang kreatif. "Jadi, anak yang kreatif tak sekadar mengemukakan ide, tapi juga dapat mengembangkan gagasan yang dilontarkannya," tandas Utami.

TOPIK TES FIGURAL

Untuk tes kreativitas figural, ada 6 topik pertanyaan yang diajukan sebagai berikut:

1. Tes Permulaan Kata

Misalnya kepada anak diberikan huruf "k" dan "a". Kemudian ia diminta untuk membentuk sebanyak mungkin kata yang bisa dibentuk dari kedua huruf tadi. Umpamanya anak menjawab "kami", "kapal", "karung" dan sebagainya.

2. Tes Membentuk Kata

Kepada anak diberikan kata tertentu, semisal "proklamasi". Nah, berdasarkan kata tersebut anak diminta membentuk kata-kata lain sebanyak mungkin. Umpamanya anak akan menjawab "kolam", "lama", "silam" dan lain-lain.

3. Tes Kalimat 3 Kata

Misalnya kepada anak diberi tiga huruf, yakni "a", "m", dan "p". Lalu mintalah ia menyusun sebanyak mungkin kalimat-kalimat yang diawali dari huruf-huruf yang diberikan tadi, dengan urutan yang boleh diubah-ubah. Umpamanya, jawabanya adalah "Ani makan pisang" atau "Mana payung Anton".

4. Tes Kesamaan Sifat

Misalnya anak mendapat soal mengenai sifat bulat dan keras. Anak dimita untuk memikirkan dan menyebutkan sebanyak mungkin benda-benda yang memiliki sifat/ciri-ciri tersebut. Jawabannya mungkin adalah bola tenis, kelereng, roda kursi, dan sebagainya.

5. Tes Penggunaan Tak Lazim

Contohnya, anak akan diberi benda yang ditemuinya sehari-hari. Akan tetapi, ia justru diminta untuk membuat sesuatu yang tak biasa dengan benda tersebut. Umpamanya, ketika anak diberi surat kabar, ia menggunakannya untuk membuat kapal-kapalan, topi, bola, dan sebagainya, bukan sebagai bahan bacaan.

6. Tes Sebab-Akibat

Anak mendapat pertanyaan mengenai situasi tertentu yang dalam keadaan nyata tak pernah terjadi. Nah, mintalah anak untuk menjawab apa kira-kira akibatnya bila situasi tersebut betul-betul terjadi. Dalam hal ini, anak dituntut untuk bebas berimajinasi. Contohnya adalah pertanyaan, "Apa jadinya bila semua orang di dunia ini pandai?" atau, "Apa akibatnya jika setiap orang bisa mengetahui pikiranmu?"

Menurut Utami, setiap tes tersebut terdiri dari 4 soal. Untuk tes pertama dan kedua, setiap soal harus dijawab dalam waktu 2 menit. Sedangkan untuk tes ketiga, diberikan waktu 3 menit untuk setiap soal, sementara untuk tes berikutnya per soal diberi durasi 4 menit.

SKOR NILAI

Hasil akhir tes kreativitas ini sama halnya dengan tes IQ, yakni berupa skor. Anak yang mencapai skor 90-110 berarti tingkat kreativitasnya rata-rata, skor di bawah 80 dikategorikan sangat lamban, sedangkan yang mampu mencapai skor 130 ke atas tergolong sangat unggul.

Namun dari pengalaman Utami selama ini, hanya sedikit anak yang bisa mencapai skor kreativitas yang tinggi. Kebanyakan berada pada kisaran skor 90-100. Sebaliknya, banyak sekali anak yang bisa mencapai skor tinggi untuk tes IQ. Menurutnya, "Hal ini disebabkan berpikir kreatif kurang dirangsang, sehingga anak tak terbiasa berpikir bermacam-macam arah."

Selain pengukuran kreativitas yang sudah disebutkan, ada juga pengukuran skala sikap kreatif yang lebih menyangkut pada segi afektif. Menurut Utami, dari berbagai penelitian ternyata kemampuan berpikir kreatif belumlah cukup jika tanpa disertai sikap kreatif. Tanpa sikap kreatif ini katanya produk kreatif pun takkan terwujud.

Jadi, berpikir kreatif itu sendiri harus disertai ciri-ciri sikap kreatif sebagai berikut:

* Terbuka terhadap pengalaman baru,

* Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,

* Tidak takut melakukan kesalahan ketika mengemukakan ide,

* Imajinatif, dan

* Berani mengambil risiko terhadap langkah yang diambil.

Lebih lanjut Utami menambahkan bahwa mengukur tingkat kreativitas lebih sulit dibandingkan mengukut tingkat intelegensi (IQ). Pasalnya, tes kreativitas menghadapi berbagai jawaban, tapi tetap harus relevan dan mengandung makna. "Jadi, bisa saja penilaiannya subjektif kalau pihak penyelenggara tes tak betul-betul mahir melakukan proses skoringnya."

MENSTIMULASI KREATIVITAS

Menstimulasi kreativitas anak memang penting, tapi Utami mengingatkan agar sebelumnya orang tua memperhatikan faktor rasa aman dan nyaman. Caranya dengan:

* Menciptakan kondisi lingkungan rumah yang ramah dan aman agar anak merasa bebas dan tidak takut-takut mengemukakan pikiran dan perasaannya.

* Ciptakan pula suasana rumah yang nyaman agar anak tak merasa tegang, sehingga dapat bebas berekspresi.

Jika suasana aman dan nyaman sudah terpenuhi, barulah orang tua secara proaktif merangsang agar anak kreatif melalui berbagai cara berikut:

* Memberikan berbagai permainan yang merangsang kreativitas, semisal balok-balok yang bisa dibentuk menyerupai berbagai macam benda. Tak perlu memberinya gambar atau contoh hasil bentukan balok tersebut karena dengan begitu anak justru jadi tidak kreatif. Agar kreatif, biarkan anak berimajinasi sendiri menyusun balok-balok sesuai yang ia inginkan.

* Berikan juga permainan seperti lego atau puzzle dan mainan lainnya yang bisa merangsang rasa ingin tahu si prasekolah. Akan tetapi, upaya menstimulasi kreativitas ini sebaiknya tetap harus dilakukan dengan cara bermain agar pemikiran/gagasannya muncul secara spontan.

* Berikan sarana berupa kertas dan pensil warna agar anak belajar menggambarkan sesuatu secara detail. Ketika menggambar sebuah apel, contohnya, anak tak sekadar membentuk sebuah lingkaran, melainkan juga membuatkan daun dan tangkainya, bahkan melengkapinya dengan gambar seekor ulat yang berada di apel itu.

* Ajak anak untuk bermain dengan kata-kata atau teka-teki agar pola pemikirannya tak kaku dan dapat melihat suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang.

* Jika anak sudah masuk playgroup, ada baiknya orang tua membicarakannya dengan pembimbing bagaimana cara menstimulasi anak agar kreatif dan tak sekadar bermain.

BILA TERLAMBAT DIRANGSANG

Setiap anak pada dasarnya memiliki potensi masing-masing. Bakat yang disandang anak berasal dari pembawaan dan pengalamannya. Kalaupun pembawaan seorang anak bisa mencapai tingkat kreativitas yang tinggi, belum tentu ia mampu mewujudkan potensinya itu. Terutama bila lingkungan keluarganya miskin stimulasi, seperti orang tua bersikap otoriter, kelewat membatasi atau kurang memberikan kebebasan pada anak, dan tak terbiasa mendengarkan pendapat serta ide anak.

Menurut Utami, stimulasi kreativitas anak sangat membutuhkan peran orang tua, khususnya pada tahun-tahun pertama kelahiran sampai anak berusia 5 tahun. Jika ia baru mendapat stimulasi ketika memasuki usia SD, tentu saja hasilnya jauh ketinggalan dibanding mereka yang sejak lahir/bayi sudah dirangsang. Meski demikian, orang tua tetap harus optimis. "Jangan pernah merasa terlambat. Lebih baik memulai sekarang daripada tidak sama sekali."

PATUH BUKAN CIRI ANAK KREATIF

Utami pernah melakukan sebuah penelitian untuk mengukur pengetahuan para orang tua dan guru mengenai ciri-ciri anak yang penting untuk dikembangkan agar ia kreatif. Kebanyakan responden ternyata menyebut ciri-ciri yang justru tak ada hubungannya dengan kreativitas. Di antaranya, sehat, patuh, sopan, rajin, tekun dan ulet. Sedikit sekali yang mengemukakan ciri-ciri kreatif, seperti rasa ingin tahu yang tinggi dan imajinatif. "Ini menunjukkan mereka kurang tahu soal kreativitas. Kalau mengenai kreativitas itu sendiri saja kurang tahu, bagaimana mungkin mereka tahu cara mengembangkannya," komentar Utami.

Masih menurutnya, anak-anak yang memiliki taraf kecerdasan maupun tingkat kreativitas tinggi ternyata menunjukkan prestasi belajar yang sama. Dalam arti, walaupun seorang anak memiliki IQ yang rendah, tapi kalau CQ-nya tinggi, ia bisa mencapai prestasi yang sama tinggi dengan anak yang IQ-nya tinggi. "Jadi, kreativitas juga penting untuk prestasi belajar. Namun sayangnya guru dan orang tua lebih menyukai anak yang cerdas daripada anak yang kreatif. Boleh jadi karena anak kreatif seringkali justru menyulitkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya."
(tabloid-nakita)

Post a Comment for "Mengukur tingkat kreatifitas"