#Masih Adakah Surga Untukku Bagian 22
#Laila
"Ibu, ayo, itu Laila mau salaman sama, Ibu." Tama menggoyang bahu ibunya. Laila masih mematung dengan tangan menggantung di udara.
Dengan wajah datar, Ibu Tama akhirnya menerima uluran tangan Laila. Laila mencium tangan ibu mertuanya dengan hormat. Bapak yang sedari tadi memperhatikan sikap istrinya yang terlihat kurang bersahabat pada Laila, menarik napas lega. Laila juga merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Meski wajah ibu mertua tidak terlihat ramah, tapi setidaknya beliau masih menerima uluran tangan Laila.
"Ibu, mau ke kamar." sang ibu pamit pada Tama. Lalu wanita yang mengenakan gamis polos warna coklat itu berlalu melewati Tama dan Laila. Ayah ikut berdiri dan menyusul istrinya. Laila menatap Tama dengan mata yang terasa mulai panas. Tama tersenyum lembut.
"Ayo, kamu istirahat di kamar Uda aja, ya." Tama menarik tangan Laila dan berjalan menuju ke kamarnya di samping ruang keluarga. Laila menurut. Tama masih menggenggam tangan Laila ketika sampai di depan pintu kamarnya, dibukanya handel pintu dengan tangan kiri, lalu dituntunnya Laila masuk ke dalam kamar.
Kamar Tama lumayan luas. Laila mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar. Kamar itu dicat warna putih, dengan sebuah tempat tidur berukuran sedang, lemari pakaian dan sebuah televisi yang diletakkan di atas sebuah meja.
"Mau tiduran atau mau duduk dulu?" Tama diikuti Laila duduk di pinggir tempat tidur.
"Ibu nggak menyukai Laila kan, Da?"
"Ya suka lah, kan yang memilihkan kamu untuk Uda, Ibu." Tama menggenggam jemari tangan Laila erat. Diusapnya punggung tangan istrinya itu dengan lembut. Laila menunduk, menyembunyikan resah di dalam dadanya.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Ibu bukan orang yang keras hati. Beliau gampang juga luluh jika melihat kelembutan dan kebaikan seseorang. Uda akan ngomong baik-baik sama Ibu. Kamu tunggu di sini, ya." Sebelum berdiri dan meninggalkan kamar, Tama merengkuh bahu Laila dan mencium kening perempuan yang sudah mulai berkaca-kaca itu.
Tinggallah Laila yang resah sendiri. Laila tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh Tama pada ibunya.
Tama menuju ke kamar ibunya yang terletak di samping ruang tamu. Tama mengetuk pintu dan membuka handelnya setelah mendengar suara mempersilakan masuk dari dalam.
Terlihat ibunya sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur dan bapaknya duduk di sebuah kursi di samping ibunya duduk.
Melihat Tama datang, bapaknya pun berdiri.
"Bicaralah baik-baik pada Ibumu." Bapak menyentuh bahu Tama sebelum ke luar meninggalkan kamar. Tama hanya mengangguk.
Tama duduk di kursi di samping ibunya, di tempat bapaknya tadi duduk. Terlihat sang ibu hanya diam tanpa ekspresi.
"Bu, Ibu nggak senang Tama pulang?" Tama menyentuh punggung tangan ibunya dengan lembut. Wanita yang sebagian rambutnya telah memutih itu, menoleh pada tama.
"Kenapa bicara seperti itu?" sang ibu menatap Tama dengan mata berkaca-kaca.
"Buktinya Ibu tak mempedulikan kedatangan Tama." Tama menggenggam tangan ibunya dan meletakkannya di pangkuannya.
"Ibu sedang capek." wanita yang amat disayangi Tama itu menghindari tatapan mata anaknya. Tama tersenyum mendengarnya.
"Bukan karena Tama datang bersama Laila?"Sang ibu hanya melengos, tak menjawab pertanyaan Tama.
"Bu, Laila memang pernah berbuat salah. Tapi dia telah membuktikan bahwa dia pantas diberi kesempatan."
"Tapi kamu tidak tahu bagaimana orang-orang kampung membicarakanmu dan membicara istrimu itu." Kali ini mata perempuan itu mulai mengeluarkan butiran-butiran bening. Tama merasa sesak, laki-laki ini selalu tak bisa melihat ibunya bersedih. Apalagi jika sampai menangis.
Tama bangkit dan duduk di atas tempat tidur di samping kaki ibunya. Tama mengusap pipi wanita yang telah mulai keriput itu.
"Bu, tiga puluh tahun umur Tama, belum pernah Tama mencintai perempuan seperti Tama mencintai Laila. Dulu mungkin Tama pernah suka atau tertarik pada perempuan, tapi hanya sebatas itu. Tama terlalu sibuk mengurus usaha dan pekerjaan. Dan kali ini, Tama ingin mengatakan pada Ibu, kalau Tama mencintai Laila. Sangat mencintainya."
Tama berhenti sejenak. Ibunya terlihat sudah sedikit tenang.
"Tolong rida atas pernikahan Tama dengan Laila, Bu. Tanpa rida dari Ibu, Tama dan Laila tak akan hidup dalam keberkahan." Tama mengambil tangan ibunya dan meletakkannya di dadanya.
"Ibu meridai pernikahan kalian. Bukankah Ibu yang telah memilihkan perempuan itu untukmu? Tapi apa yang pernah dilakukannya, sungguh sangat melukai hati Ibu."
"Tolong maafkanlah Laila dengan iklas, Bu."
"Ibu telah memaafkannya, tapi jangan paksa Ibu untuk bisa langsung bersikap baik dan ramah pada istrimu itu. Ibu butuh waktu."
"Ikutlah dengan Tama dan Laila ke Jakarta, Bu. Beri Laila waktu satu minggu untuk membuktikan pada Ibu bahwa ia memang pantas untuk Ibu sayangi." Tama mencium tangan ibunya dengan tatapan penuh harap.
"Akan Ibu pikirkan semalam ini. Pergilah temani istrimu. Ibu ingin istirahat sejenak." Wanita itu lalu mengubah posisinya dari duduk menjadi berbaring.
Tama bangkit dan menyelimuti tubuh ibunya dengan selimut. Sebelum beranjak ke luar dari kamar ibunya, Tama mencium kening ibunya dengan penuh kasih.
Tama kembali ke kamarnya. Didapatinya Laila sedang duduk termenung di pinggir tempat tidur. Tama duduk di samping istrinya dan merengkuh bahu istrinya.
"Apa yang kamu pikirkan?" Tama menatap istrinya dengan lembut.
"Bagaimana Ibu?" Laila balik bertanya. Tama tersenyum. Tiba-tiba Tama bangkit dan berdiri di hadapan Laila. Tama menyentuh jilbab Laila.
"Buka lah jilbabmu kalau berada di dekat Uda. Uda suka melihat rambutmu yang tergerai indah." Tama membuka jilbab yang menutup kepala Laila. Wajah Laila mendadak merona, membuat Tama tak sanggup menahan diri untuk tidak mencium pipi istrinya itu.
"Uda, ditanyain tentang Ibu juga." Mata Laila membulat protes dengan sikap santai Tama yang seperti tak peduli dengan kerisauan hatinya. Tama tertawa, senang sekali melihat ekspresi wanita di hadapannya ini yang terlihat amat menggemaskan kalau sedang marah atau kesal.
Tama kembali duduk di samping Laila. Diraihnya tangan istrinya dan digenggamnya dengan erat.
"Ibu akan ikut kita ke Jakarta." Laila kaget mendengar ucapan Tama. Tangannya kembali terasa dingin. Dadanya menjadi berdebar tak beraturan. Bukan ia tak senang Ibu Mertuanya itu ikut dengan mereka. Tapi sikap ibu mertuanya yang terlihat masih tak bersahabat, membuat Laila takut. Bagaima ia akan menghadapi dan bersikap pada ibu mertuanya ini nanti.
"Tugas kamulah untuk bisa mengambil hati Ibu agar beliau bisa menyayangimu seperti beliau menyayangi aku anaknya." Tama mengerling pada Laila.
Ya, Tuhan, enak bener laki-laki ini bicara. Tentu karena dengan ibunya sendiri. Bagaimana dengan dirinya yang hanya seorang menantu?
"Tenang, Uda akan selalu mendampingimu. Uda akan selalu ada di sampingmu untuk meraih hati Ibu." Tama merengkuh tubuh Laila ke dalam pelukannya. Laila meletakkan kepalanya di dada Tama.
"Kamu siap?" Tama mencium puncak kepala Laila. Laila mengangguk.
"InsyaAllah, Da."
"Tapi, Uda ingin kita sama-sama berjanji, apapun yang terjadi nanti, berjanjilah untuk tidak pernah pergi dari sisi Uda. Temani Uda sampai kita sama-sama menutup usia."
Laila mengangguk.
"Laila berjanji, Da. Laila akan selalu menemani Uda dalam kondisi seperti apa pun juga." Dua bulir bening mengalir di kedua belah pipi Laila. Tama tersenyum.
"Terima kasih sayang." Laila mengagguk dengan pipi basah. Kembali hatinya mengucap syukur atas karunia Allah swt yang telah menganugrahkan cinta dan kebahagiaan yang begitu indah kepadanya.
TAMAT
Terima kasih penulis ucapkan kepada admin dan moderator yang selalu menyetujui terbitnya cerbung ini di KBM. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dari segi EYD dan jalan ceritanya.
Terima kasih pembaca setia Tama dan laila yang telah meluangkan waktu membaca cerbung ini dari part awal hingga akhir. Support dan perhatian dari sahabat-sahabat semua sangat berarti bagi penulis. Dan satu hal yang ingin Uni katakan, Uni sangat bahagia melalui cerbung ini telah menambah sahabat dan teman dari berbagai penjuru dan berbagai latar belakang. Tak dapat disebutkan satu persatu, semua memiliki arti dan kenangan tersendiri buat Uni.
Mohon maaf, jika cerbung ini Uni selesaikan sampai di sini untuk versi KBM-nya. Semula tak pernah terpikir untuk mengankat Tama dan Laila menjadi sebuah novel. Tapi akhirnya melalui perenungan dan berbagai pertimbangan, Uni pun berpikir, kenapa tidak mencobanya.
Terima kasih jika sahabat-sahabat Laila ada yang berkenan untuk PO novel ini. Info selanjutnya tentang jumlah halaman dan harga akan Uni bagi kepada sahabat-sahabat semua.
Berbagai adegan romantis dan yang menimbulkan cemburu di hati Tama dan Laila, yang tidak terdapat di dalam versi KBM tapi akan ditemukan dalam versi novel. Selain itu ending yang lebih jelas dan lebih manis tentunya di dalam versi novel. Jawaban atas pertanyaan "Apakah Laila berhasil meluluhkan hati ibu mertuanya?" akan terjawab di dalam novel "Masih Adakah Surga Untukku."
Sekali lagi Uni ucapkan terima kasih atas perhatian sahabat-sahabat Laila yang telah menemani Uni sampai 22 episode ini. Mohon maaf jika keputusan yang Uni ambil untuk menerbitkan novel ini mengecewakan sebagian dari sahabat Laila di cerbung ini.
Eps 1 >> Eps 2 >> Eps 3 >> Eps 4 >> Eps 5 >> Eps 6 >> Eps 7 >> Eps 8 >> Eps 9 >> Eps 10 >> Eps 11 >> Eps 12 >> Eps 13 >> Eps 14 >> Eps 15 >> Eps 16 >> Eps 17 >> Eps 18 >> Eps 19 >> Eps 20 >> Eps 21 >> Eps 22
Eps 1 >> Eps 2 >> Eps 3 >> Eps 4 >> Eps 5 >> Eps 6 >> Eps 7 >> Eps 8 >> Eps 9 >> Eps 10 >> Eps 11 >> Eps 12 >> Eps 13 >> Eps 14 >> Eps 15 >> Eps 16 >> Eps 17 >> Eps 18 >> Eps 19 >> Eps 20 >> Eps 21 >> Eps 22
Post a Comment for "Masih Adakah Surga Untukku Episode 22"